Membaca Masalah Pelik Politik Belakangan Ini
Mendengar kata politik, sebagai sebuah gagasan, semacam ada kegamangan teramat sangat, ditengah publik yang limbung karena problem masyarakat yang tak pernah mampu terurai dan tuntas oleh mekanisme birokrat pemerintah yang didalamnya mengalir ide dan hormonal politik. Dilain sisi, ketika mendengar kata politik, sebagai sebuah tatanan praksis, semacam ada upaya pembodohan yang dipaksakan untuk diterima dari sebuah gagasan tentang politik yang tak pernah ada wujudnya, namun terus menerus diupayakan sedemikian kolot sebagai satu-satunya entitas yang menyelamatkan umat manusia atau civil society, melebihi agama.
Semacam sinisme mungkin. Politik dalam bentuk gagasan saja, kita kesulitan untuk mematerialkan sedemikian rupa, menjadi narasi besar dalam mewujudkan kehidupan bersama yang fungsional dan berorientasi pada kesejahteraan. Sekarang kita diperhadapkan pada sebuah situasi, dimana politik diedarkan tanpa petunjuk teknis operasional, entah melalui berita, koran, milis, atau pesan media sosial sebagai salah satu penyelamat kehidupan warga negara, melebihi para pastor atau seorang kyai bahkan. Bagi yang mengamini mungkin tidak akan menolak atau menegasikan argumen tersebut. Tapi mereka yang nalarnya kritis, memandang politik hari ini adalah kekacauan.
Membaca laporan dari lembaga survei tentang elektabilitas elit politik dimata masyarakat, kita akan dibuat tercengang. Partai politik dan segenap elit pemerintahan yang bertengger dijabatan suprastruktur negara dinilai dengan angka rapot warna merah. Sebagaimana yang dilansir oleh lembaga anti korupsi, Indonesia Corrupt Watch (ICW) yang bekerja sama dengan Lembaga Polling Centre mencatat bahwa Partai Politik (Parpol) berada pada posisi terbawah dari grafik kepercayaan masyarakat terhadap elit politik, yakni hanya sejumlah 35%.
Artinya Parpol menduduki peringkat teratas sebagai lembaga yang paling tidak dipercaya masyarakat, akibat rentetan kasus hukum yang menjerat kader Parpol, baik yang tengah menduduki leading sector pemerintahan ataupun yang tidak.
Disusul kemudian, perusahaan swasta dengan jumlah 49%, pun tak luput dari anggapan publik yang menilai buruk akibat kontrak kerja sama dengan lembaga-lembaga pemerintahan negara kerap berujung pada penyelewengan anggaran dan penyuapan dengan nominal yang cukup mencengangkan.
Dan ketiga, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan jumlah 51%. Tak aneh jika pada akhirnya DPR menempati posisi tertinggi selanjutnya lantaran semua posisi suprastruktur Trias Politica negara disuplai oleh mereka para elit yang datangnya dari dapur ideologis kader Parpol (Matondang, D. Juli 20, 2017).
Cukup beragam kasus hukum yang berpotensi menimpa elit politik, dan kasus korupsi menjadi kasus terbanyak. Laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terdapat 32% kader dari keseluruhan Parpol peserta Pemilu yang menjadi tersangka tindak pidana korupsi. Bahkan menurut penuturan Pahala Nainggolan, Deputi Pencegahan KPK, hingga bulan September 2017 terdapat 10 Parpol telah disurati dan akan didatangi oleh KPK, terkait dugaan kasus korupsi yang menimpa kadernya. Dan, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) merupakan Parpol pertama yang akan dikunjungi KPK (Wiwoho, B. September 1, 2017). Program kerja top-down pemerintah yang dijanjikan diawal pemilihan umum tak pernah terukur berdampak baik atau tidak bagi masyarakat dan rangkaian kasus skandal suap para elit pejabat, adalah penyebab memburuknya elektabilitas etika pejabat publik dimata masyarakat.
Dari sini, kita bertanya ulang tentang fungsi dari Parpol dalam kancah perpolitikan dan birokrasi pemerintahan negara Indonesia. Apakah benar, Parpol masih mampu menjalankan fungsinya sebagai lembaga ideal yang bergerak dalam mekanisme besar pemerintahan negara, menjadi salah satu komponen penting sistem demokrasi presidensial saat ini. Pertanyaan demikian tentu akan sulit dijawab. Namun, tunggu dulu, belakangan Lembaga Survey Indobarometer membuat publik makin muram. Dengan melansir penilaian masyarakat tentang proses politik kenegaraan dan Parpol, hasilnya menunjukkan bahwa 50% masyarakat menilai politik itu buruk, dan mengakibatkan sebanyak 63% masyarakat Indonesia tidak lagi percaya terhadap Parpol (Faiz, A. Maret 23, 2017).
Sebenarnya, apa yang gagal dari politik praktis ataupun politik gagasan dalam sistem besar birokrasi pemerintahan hari ini. Tentu sudah sepantasnya kita geram, membaca hasil survey tersebut, seakan pemerintah tutup mata dan miring akalnya, akan potensi besar menuju perubahan yang lebih baik melalui sebuah alat bernama politik. Politik menjadi sudut pandang yang dinilai sebelah mata dengan kesinisan pragmatis dari para elitnya. Berupaya mengkonsolidasasikan gagasan tentang bagaimana mendistribusikan kebijaksanaan, namun dengan itikad jual-beli kekuasaan. Politik kekuasaan adalah nama yang disematkan oleh masyarakat pada perilaku elit politik bangsa Indonesia hari ini.
Akibat politik kekuasaan itu, alienasi politik terjadi. Sikap acuh masyarakat, phobia akan politik, hingga muncul perilaku menolak untuk berpartisipasi didalamnya, merupakan suatu bentuk manifestasi mentalitas yang lelah, tak berharga, tak bermakna dan terasing dari civil society terhadap wajah para elit yang kerapkali menampilkan sisi gelap dinamika politik yang berisikan konflik, kepentingan, perebutan kuasa dan saling hujat (Yinger, 1973 dalalm Muluk, 2010).