Lihat ke Halaman Asli

Kota Tua dan Remang Wajahnya

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Cuma melampirkan apa yang disambungkan lidah, sayup-sayup kota bernafaskan tua tergambar di dinding-dinding pinggiran kota yang pernah disebut sebagai basic terbesar pulau jawa kelompok penganut marxis. Sempat berkunjung ke sebuah kota di Jawa Tengah, bukan Madiun kiranya, jangan salah. Ini sebuah daerah yang pernah menjadi litasan gerak komunisme sebelum merdeka.

Kota Pati. Melewati alun-alun Kota Rembang, dini hari pukul 01.00 WIB, saya terpaksa mengakui jika tengah dibuat berdecak. Duduk di samping sopir, tak bisa membuat saya tenang, meski jarak pandang begitu gamblang. Kanan-kiri, saya terlalu sibuk menoleh-noleh mengganggu ketenangan pak sopir yang berkonsentrasi mengalahkan kantuk dan pegalnya. Corak bangunan sepanjang jalan protokol nampak syahdu bergayakan kolonial.

Dinding-dinding tinggi, pintu-pintu dengan ornamen lempengan besi menempel, ditambah engsel-engsel pintu yang tak kalah berkaratnya, saya yakin bangunan sepanjang jalan ini peninggalan Hindia-Belanda. Apa yang saya pikirkan, begitu beragam, keramahan kota tua tergambar lengkap dengan corak kehidupan pengisi wadahnya. Ketika melintasi malam yang tengah melepaskan tugasnya, tak lama lagi matahari menyingsing. Pengemis mulai berderet, menata formasi bersiap menengadah nanti pagi. Emperan toko saya buat sebagai frame kota tua dan wajah lainnya.

Saya tergugah tatkala, marxis menjadi resep yang tertulis di sebuah kertas rujukan dokter untuk mengobati dekolonialisasi paska merdeka. Ketakutan saya sewaktu menuliskan hal ini adalah ketika provokasi telah bersarang menjadikan komunisme barang paling keji yang telah direkayasa dan tak sengaja tertelan. Terotoar makin mengkilap, ketika kendaraan yang saya naiki makin cepat, malam makin kelam dan melambat. Terotoar sepanjang jalan mengkilat, seperti baru saja di cat, panjang melingkari Kota Rembang, layaknya pesisir pantai laut dangkalnya.

Lidah sambung menyambung, cerita dari cerita bermula saat bapak saya berkisah panjang tentang PKI yang menginfeksi desa tempat kakek saya beranak pinak. Kolonial kian mencengkram 1921, kakek yang disebut dalam kisah sebagai bapak, lebih memilih tidur digubuk sembari menawan tawa dan tetap menjaga sikap waspada, bukan untuk berteduh atau bersantai menikmati udut. Sebelum merdeka, ladang jagung dan telo harus senantiasa di jaga keamanannya, karena kompeni tak mau kehilangan se-ons-pun dari berat timbangan hasil tanam paksanya. Tanah milik kakek sendiri, meski tanpa surat, kakek adalah pemilik sah tanah si seberang sungai Ampo. Tak mau ambil resiko jika kompeni menggaruk patokan tanah, lantaran bobot timbangan umpetinya kurang se-ons saja, kakek kerap tidur nyenyak di gubuk yang kini tinggal ilalang menyerampai.

Kemiskinan nampaknya sudah bersarang digaris silsilah sebelum merdeka, saya pikir pikir bukan hanya bersarang di silsilah bapakku, kakek, hingga aku, namun semua keluarga, atau lebih tepatnya, semua orang tak bisa disebut kaya atau kecukupan saat kolonialisasi masih berupaya menakar pondasi biar seabad barangkali 2 abad bisa berkuasa terus tanpa diusik. Miskin tetap saja miskin, miskin tuan tanah sebutan membanggakan di Soviet, tak lebih dari sebuah umpatan di Hindia-Belanda. Miskin sedari dulu miskin.

Barang mobil tiba-tiba melambat mengitari alun-alun rembang di sudut gapura-gapura gang warisan Hindia-Belanda. Pengemis lagi-lagi berlompatan menyeret-nyeret wadah. Asap putih menyibak gelap sopir gerah dengan rasa kantuknya. Kita dulu bukan punya kelas, bisa sekolahkan anakmu, mas, adik, lan mbak yu-ne bapak, buk de-mu, sudah termasuk keajaiban. Paska merdeka warga desa tak pernah tau apa-apa, bahkan mengerti pun tidak. Kabar gembira megneai kemerdekaan yang banyak tertulis ditembok dan media cetak milik “China” hampir mustahil dibaca. Tau-taunya ketika berpapasan, kami saling beruluk salam, yang semula “Assalamualaikum” diganti dengan ucapan “merdeka!”. Bung Karno lan Bung Hatta, ringan seliweran ditelinga nyaring kita, tanpa bisa baca duit 3 sen-pun kerap kocar-kacir jika mau tau hitungannya.

Jaman baru, jaman merdeka, kompeni agak jarang datang melihat ladang. Dasar kakek yang keasyikan tidur di gubuk, kalau lagi tidur serasa kembali ke jaman sebelum merdeka. Sopir disampingku yang masih berkonsentrasi menyusuri aspal, ku lirik sesekali, kelihatannya menguap, rokok baru sepertinya tak lama dinyalakan, penghibur setia perjalanan panjangnya dan asap menertawakannya. Impresi atau depresi mulai hilang, kadang-kadang sesekali datang, bukan untuk mengingatkan umpeti harus disetor 2 hari sekali, cuma menghampiri dengan koper penuh tanda tanya ditenteng dikedua tangannya. Mau pergi, anak bini di tanah Belanda, rindu sekali. Kakek bingung tak mau beruluk salam kembali. 1 bulan tak ada yang menagih tumpukan karung berisikan jagung, telo, dan tebu, kini menggunung, kemana sekalian menir-menir tak pernah kemari. Gubuk seberang gubuk kakek, bosan menunggu recehan yang tak sepadan, jagung dan telo akhirnya masuk ke perapian, buat isi perut sekenyang-kenyangnya. Sesekali makan jerih keringat di tanah sendiri, dari pada recehan-recehan logam tak jelas jumlahnya, lari tak tau juntrungannya.

Tapi kakek, kakek tetap miskin. Gubug sebelah yang kenyang pun juga masih tetap miskin. Padahal menir-menir sudah bertahun-tahun tak kemari. Harusnya senang tak ada yang usik makan pengganjal perut lagi, tapi aneh, ini malah sedih. Paksa dan siksa sudah urung dilakukan tapi rumit yang lagi-lagi membikin sulit, kakek tak tau harus diapakan tanah-tanahnya kini, dijual kesiapa lagi kalau bukan kompeni, sedangkan si jelata kapan boleh bertandang ke pemuka-pemuka besar Hindia-Belanda, sekarang Indonesia. Mau tak mau pilar-pilar kemiskinan dilawan. Menir tak lagi bentak-bentak kakek ketika mencangkul. Melawan sistem mereka kuasai yang tak lagi menyulitkan kakek mencangkul tapi bernafas dan buang air pun mikir-mikir takarannya.

Percikan cahaya sembarangan tersibak ditembok-tembok mengkilat dan aspal-aspal hitam pekat. Cahaya asali lampu yang lebih tinggi daripada pepohonan hiasan kata, terselip diantara selokan dan terotoar. Sopir mendeham mobil berkelok-kelok menjauhi alun-alun Kota Rembang penuh becak dan si pelukis yang tua.

Kita sudah tiba ditempat tujuan. Letih dan bahagia, sulit dibedakan rasanya. Mungkin sejenak merebahkan badan membantuku memetakan antara rasa peluh dan gelak tawa, melintas di kota tua, tengah malam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline