Lihat ke Halaman Asli

Cerita Setan

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ilalang bergumul mesra dengan awan, tanpa gangguan angin si pengganggu ketenangan. Masih pagi dan burung mulai berkecapi. Tak pernah ku buntuti awan pagi ini, selalu tenang setiap pagi, siang beda lagi, namun sore tenang lagi, tambah indah dengan binar senja. Aku seorang setan, lebih tepatnya seekor setan, atau seonggok setan, yang ditakdirkan membuntuti malam dan menyapu kebaikan manusia yang tak ikhlas dijamah kesusahan. Entahlah, terkadang Tuhan membingungkanku, ketika diriku yang lunglai dengan kenestapaan takdir, menegaskanku untuk berbuat aniaya kepada ciptaannya yang punya muka penuh lubang.

“Itu namanya manusia.” Pak Pocong nyeletuk disampingku.

“Kenapa rupanya berbeda dengan kita?” tanyaku tapi tak menoleh.

“Beda apanya,” jawabnya.

“Itu rupa-rupanya,” tanyaku memperjelas. Percakapan kami berlangsung 1 tahun, sekedar 2 pertanyaan yang singkat begitu lama rasanya. Maklum dunia setan. Barangkali ukuran waktu masih amburadul di alam sana.

Percakapan berlanjut.

“Oh itu to? Kamu tanya apanya yang beda?”

“Ah, sudahlah gak usah repot-repot jawab pertanyaan yang tadi. Kira-kira siapa yang lebih sempurna,” pertanyaan itu aku ganti, sadar Pak Pocong ternyata budek sesaat waktu itu.

“Antara siapa? Mereka dan kita. Aku saja lupa ukuran sempurna itu macam apa. Aku ini juga bingung bukan karena pertanyaanmu yang membingungkanku. Tapi maksud Tuhan menciptakan mereka yang membingungkanku saat kau menanyakan.” Pak Pocong melanjutkan dan kini sudah 5 tahun percakapan ini berlangsung.

“Mereka manusia menyebut diri mereka paling sempurna, iya menurut mereka. Dan kita tidak tau apa-apa tentang kesempurnaan. Lantas aku juga bertanya, manusia merasa sempurna atas dasar apa? Kalau toh atas dasar pamer, mereka pamer terhadap siapa, kita.”

“Iya, mungkin terhadap kita, setan.”

“Loh, bagaimana kita bisa tau mereka sempurna, kalau konsep yang dimiliki lawannya, yaitu kita. Tak pernah mengatahui kesempurnaan itu semacam apa.”

“Iya ya,” heranku. “Tapi anehnya kenapa aku tadi meng-iyakan,” malah bingung.

Baru saja aku sadar dibingungkan oleh pertanyaanku sendiri, juga dibingungkan oleh jawaban yang ku lontarkan barusan. Aku bingung mengenai kesempurnaan manusia, sekaligus dibingungkan oleh hipotesa yang ku buat atas pertanyaanku. Pak Pocong pun menghilang, padahal pertanyaanku belum jelas betul, mau dibiarkan mengambang atau mau dibuang. Semua berubah menjadi penat, ternyata setan juga bisa merasakan sumpek.

Jalan protokol kota masih lenggang. Tak cuma motor dan mobil kinclong saja yang melintas, sesekali becak dan sepeda pancal berkeranjang dengan muatan penuh sayur-mayur melintas lantang tanpa sungkan. Jalan protokol mulai ramai, terpaksa pengendara mengurangi kecepatan demi lancarnya ketertiban, lebih tepatnya agar tak tersungkur karena buru-buru setibanya dirumah. Ini waktu yang nikmat, duduk diatas lampu penerangan jalan, yang tidak lama lagi bakal bertengkar dengan malam. Dari atas lampu penerangan jalan, sesosok makhluk hitam legam, berbadan lebar sekaligus besar. Pasti setan Gondoruwo. Sekelebat saja berpindah kini berdiri terpaku dipinggir jalan tepat kendaraan lalu lalang sembarangan, Pak Gondoruwo bediri diam saja, tapi matanya melirik tajam, kekanan-kekiri, sepertinya sedang memperhatikan sesuatu, mungkin memperhatikan manusia-manusia yang berkelabatan dengan kendaraan bermesin didepannya. Seakan ada maksud yang hendak mau diutarakan. Tapi dasar setan, biasanya cuma berperilaku aneh dan ngedumel seenaknya.

“Pak Gon?” sapaku ringan.

“Hmm,” balasnya ringan pula, dengan mengeram pula.

“Sedang ngapain, Pak Gon?”
“Gak ngapa-ngapain.”

“Ah masa, kenapa itu punya mata melirik kesan kemari, Pak Gon?”

“Ah ini, tau aja kau kalau aku sedang lirik sana lirik sini.”

“Memangnya lagi lirik siapa sih, Pak Gon?”

“Mereka ini! para manusia.”

“Aih, memangnya kenapa Pak Gon? Ada yang aneh ya sama mereka anak cucu adam.”

“Ya biasa saja kau lihat baik-baik. Inikah yang dimaksud sempurna sesuai perjanjian kita para setan dengan Tuhan dulu, sebelum manusia diciptakan. Yang katanya sempurna dengan kelangkapan akal untuk berfikir. Soal waktu beribadah saja mereka banyak yang pura-pura lupa, ditambah lagi tugas-tugasnya sebagai makhluk paling sempurna tak ada yang dikerjakan lagi. Pura-pura lupa kayaknya atau memang tak tau, isi perjanjiannya, setelah diberi kesempurnaan secara terukur, mereka dikenakan kewajiban yang tak mengikat secara langsung untuk tetap selalu bersuci dan beribadah sepanjang nafas penghidupan yang mengalir perlahan melalui pembulu darah super rumit ciptaan-Nya.”

“Jadi, kesempurnaan mereka bukan tanpa tedeng aling-aling?”

“Bisa dibilang begitu.”

“Jadi Tuhan juga butuh pengakuan dari makhluk-makhluk dan benda-benda ciptaan-Nya dong, Pak Gon.” Tegasku seraya menyimpulkan.

“Ya bukan begitu juga,” sanggah Pak Gondoruwo sembari terkekeh-kekeh.

“Aih, lantas?”

“Tuhan bukan bermaksud ingin mengaktualisasikan sifat ketuhanannya dengan menciptakan makhluk, benda atau zat yang bisa mendukung kedudukannya sebagai (Yang Satu). Tapi Tuhan mengadakan semacam kehidupan cuma sekedar penyeimbangtimbangan semestanya saja, tak lebih dari itu. Kalau sekedar orientasi Tuhan hanya untuk mengaktualisasikan diri, maka adil dan tidak adil menjadi tolak ukur yang bakal dipertanyakan, lalu disesali terus-menerus oleh si penderanya. Maka, kebaikanlah yang akan menjadi ukuran paling tinggi, sebaliknya bahkan serba buruk. Jelas ini ketidakadilan yang bakal mendera kita, mengapa kita diciptakan sebagai peran antagonis kalau memang tujuannya tidak pernah menguntungkan pihak pemeran. Maka inilah yang sebenarnya dimaksudkan Tuhan, bukan kesederhanaan pikiran yang kau utarakan.”

Gelap perlahan menyelimuti bagai selimut yang tertutup perlahan-lahan lalu menghitam, digantikan sinar-sinar buatan yang mendominasi di tengah kegelapan. Yah, manusia hidup dengan keterbatasan, guna melanjutkan pergerakan senantiasa kehidupan. Baru, suara-suara terdengar melengking tajam bersahutan, nampak seakan seruan atau panggilan kenikmatan. Namun hanya segelintir manusia yang peduli dan menghiraukan. Sisanya menghilang tenggelam dengan pusara kehidupan yang fana digdaya.

Pak Gondoruwo sejenak berdeham lalu diam, tadinya tepat berada disampingku berdiri besar diantara pepohonan terotoar. Kali ini dia duduk memantapkan posisinya bersila, tapi masih tetap menghadap kearah jalan. Entahlah, ternyata setan juga butuh istirahat atau sekedar pembaharuan posisi atau tempat dduk biar gak stres, mungkin ini salah satu pembedanya antara setan dan manusia.

Malam makin larut, manusia makin berjejal di aspal.

“Lihat mereka, manusia meski menyebut diri mereka sempurna. Tapi atas dasar apa, kita yang bertanya-tanya tidak tau apa yang membuat mereka menjadi sempurna. Pakai tolak ukur apa?” Tanya Pak Gondoruwo.

“Mungkin mereka punya akal, Pak Gon.”

“Akal ya. Hmm, bisa jadi begitu. Tapi mungkin sikap skeptis kita yang berlarut-larut bakal, mengarahkan kita kesebuah pertanyaan final untuk menyalahkan Tuhan.”

“Ah, yang benar, Pak Gon.”

“Bah, coba saja kau cermati. Sikap kita yang tercermin seketika dari pertanyaan-pertanyaan kita dan hipotesa-hipotesa ala kadarnya ini, tidak menutup kemungkinan akan sampai pada kesimpulan mengenai Tuhan yang semena-mena menciptakan makhluk-makhluknya. Apalagi Tuhan juga Maha Pemurah, lihat saja manusia yang taat dan yang tidak taat sekalipun dapat kenikmatan darinya. Entahlah? Aku juga bingung dengan Tuhan.”

“Loh? Katanya tadi ukurannya pakai kebaikan bukan keadilan, Pak Gon? Gimana sih saya juga bingung.” Jawabku.

“Mungkin opsi pertama untuk kebaikan tidak juga nemu juntrungan jawabannya. Apa salahnya kalau kita pakai keadilan lalu menyalahkan Tuhan. Aku membingungkan ini sewaktu aku berpikir tentang kenikmatan yang dipukul rata oleh Tuhan pada semua umat manusia ciptaan-Nya yang buruk atau yang baik dan yang taat atau yang tidak taat. Tak ada beda, buruk seharusnya dapat keburukan juga sebagai sebuah hukuman atas perilaku adil yang dipilih Tuhan. Nyatanya?”

“Malah tambah bingung, Pak Gon!”

“Bingung sebelah mananya? Dari tadi bingung melulu.”

“Katanya jangan mengumpat Tuhan. Sekarang malah meragukan terang-terangan.”

“Owalah? Kamu bingungkan soal itu to Le? Gak usah bingung. Ini juga cara bagaimana kita cari jawabannya. Apalagi atas pertanyaanmu yang aneh-aneh itu. Kalau kita mengikuti arus masih juga gak nemu jawaban. Apa salahnya kita coba melawan arus sebaliknya. Wong pikiran itu luasnya minta ampun. Siapa tau yang tadinya ketinggalan dan gak nemu-nemu jawabannya gara-gara ikut arus atau cara berpikir konvensional, ternyata malah nemu jawaban yang sesungguhnya.”

“Jadi gak apa-apa ya, Pak Gon?”
“Ya gak opo-opo le. Asalkan kamu gag takut dosa.”

“Halah? Kita ini setan, Pak Gon? Istilah dosa kan gak ada dikamus kita.”

“O…..iya ya hehehe. Apa ada yang dibingungkan lagi.”

“Hmm. Lalu apa maksud Tuhan sekarang?”

“Apanya?”

“Maksud Tuhan karena menyamakan kenikmatan.”

“Ya, mungkin Tuhan benar-benar menyamaratakan.”

“Kenikmatan, maksudnya?”

“Bukan!”

“Lalu?”

“Menyamaratakan mekanisme alam. Tuhan buat manusia dilengkapi nafsu dan pikiran. Kalau pakai pembanding kita-kita ini sebagai setan kita cuma punya nafsu dan pikiran pun kita tak didesainkan serupa manusia. Buat apa dengan sifat transparan kita nembus benda-benda mati kalau bukan untuk menghilangkan desain pikiran kita. Tuhan bermaksud menghilangkan pikiran kita dengan kemampuan dan sifat transparansi kita.”

“Jadi, setan gak usah capek-capek mikir buat kaca mata tembus pandang seperti manusia. Wong kita bisa nembus benda-benda mati begitu saja.”

“Nah? Kurang lebih seperti itu.”

“Itu yang membedakan kita dengan manusia.”

“Tidak hanya itu. Manusia bisa mempergunakan pikirannya karena nafsu. Juga sebaliknya nafsu yang mempengaruhi pikirannya. Dan ini sebab akibatnya. Kenapa manusia lekat sekali dengan keburukan itu dan jelas nafsu yang menjadi jawaban akhir dari keburukannya karena Tuhan sudah tau itu-itu semua.”

“Maksudnya sudah tau?”

“Ya sudah tau.”

“Jadi, Tuhan tau kalau manusia bakal seperti itu. Dan Tuhan juga yang menciptakan manusia seperti ini?”

“Yup.”

“Berarti Tuhan tak lebih dari sekedar iseng dong?”
“Ya, kurang lebih seperti itu hahahahahah. Tapi tunggu dulu. Ini yang kita tidak bisa menyalahkan Tuhan, dengan apapun sekalipun meragukannya. Bahkan Tuhan juga telah mendesain jalan keluarnya, dengan membuat hadiah sebuah surga nantinya bisa mendapat tiketnya.”

“Seperti sayembara.”
“Karena apa? manusia adalah makhluk paling bengal yang diciptakanya. Kalau tidak pakai iming-iming kenikmatan. Bisa jadi apa mereka, manusia yang katanya sempurna.” Tandas Pak Gondoruwo yang berucap lirih kesamping telinga runcingku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline