Lihat ke Halaman Asli

LUH MUNI WIRASWARI

Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran

Konsep Ngayah di Bali sebagai Manajemen Peran Domestik

Diperbarui: 12 Juli 2024   21:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di zaman yang menjadi titik didih perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,  tak jarang kita melihat perdebatan tentang peran publik seorang perempuan. Namun, bagaimana tentang peran domestik laki-laki? Apakah peran domestik yang dijalankan oleh laki-laki telah setara dengan para perempuan? 

Untuk mencapai kesetaraan gender, kita tidak hanya membutuhkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam peran publik, tetapi juga harus memperhatikan kesetaraan peran domestik yang dimiliki oleh masing-masing gender. Perdebatan mengenai pembagian tugas domestik yang tidak adil dan kaku antara laki-laki dan perempuan di media sosial pun sering terjadi.

Konsep ngayah yang dijalani oleh masyarakat di Bali selama bertahun-tahun berkaitan dengan kesetaraan peran domestik dan merupakan fenomena sosial yang sangat menarik untuk dibahas.  

Pada dasarnya, ngayah merupakan kearifan lokal yang berkaitan erat dengan budaya gotong royong sebagai budaya nusantara. Budaya yang dilandasi oleh Pancasila ini bersifat fleksibel karena masyarakat saling menolong demi tercapainya tujuan bersama, yakni upacara adat (yadnya).

Budaya ngayah telah dilaksanakan masyarakat di Bali bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Sebelum muncul sekolah formal, telah ada sekolah rakyat yang kegiatan belajar dan mengajarnya dilaksanakan di banjar (wilayah administratif di Bali setara dengan RW). Hal ini pula yang menimbulkan adanya sekaa teruna teruni atau karang taruna di tingkat banjar.

Di dalam sistematika ngayah, terdapat pembagian-pembagian tugas berdasarkan gender, yakni antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mendapatkan pembagian yang adil, baik pekerjaan di dapur ataupun dalam menyiapkan sesajen.

Laki-laki biasanya melakukan kegiatan ngerajang (memotong daging, membuat bumbu, hingga mengadukkan lawar), menghias dan mendirikan penjor (umbul-umbul), dan sebagainya. Sementara perempuan biasanya menyiapkan sesajen untuk persembahan dan membantu memasak bahan makanan.

Sejak kecil, anak-anak di Bali sudah diajari untuk mengerjakan pekerjaan yang sudah dibagikan sesuai gendernya. Namun, pekerjaan-pekerjaan ini fleksibel untuk dilakukan oleh siapa saja.

Secara konsep, pembagian ini terlihat adil. Hingga kini pun sistem ngayah masih tetap terus dilaksanakan, baik di rumah maupun di banjar. 

Mengingat konsep ngayah, sepertinya warisan budaya nusantara memiliki pesan moral yang sebenarnya universal dan dapat diterapkan di masa kini. Oleh karena itu, generasi muda perlu melestarikan budaya dan nilai-nilai nusantara dalam kehidupan sehari-hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline