Lihat ke Halaman Asli

Bolehkah Pelaku Sepak Bola Indonesia Berpolitik?

Diperbarui: 15 November 2017   17:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketua PSSI Edy Rahmayadi. Kompas.com

Didasari rasa solidaritas kemanusiaan, suporter Persib Bandung, Bobotoh melakukan koreografi bertulisan 'Save Rohingnya' dari atas tribun Stadion Si Jalak Harupat Bandung saat menjamu Semen Padang, Sabtu (9/9/2017) dua bulan lalu. Tak disangka, aksi simpatik itu berujung sanksi dari Komisi Disiplin (Komdis) PSSI yang menganggapnya sebagai ekspresi sikap politik.

Di dalam surat bernomor 92/L1/SK/KD-PSSI/IX/2017 yang diberikan kepada Manajemen Persib, dijelaskan kalau aksi itu telah melanggar pasal 67 ayat (3) Kode Disiplin PSSI. Atas sanksi itu, klub didenda Rp 50 juta. Bobotoh kala itu bereaksi keras atas keputusan itu dengan melakukan aksi pengumpulan koin untuk membayar denda ke PSSI sebagai bentuk protes.

"Dalam ketentuan yang berlaku secara global tersebut, FIFA menentukan bahwa pemaparan simbol politik dalam bentuk apapun dianggap sebagai tindakan yang tidak sesuai (improper conduct), yang dapat dikenakan sanksi. Ketentuan ini tentu mengundang pertanyaan yang lebih mendalam: sejauh apa suatu simbol dapat dianggap terkait dengan politik?" tulis pernyataan yang ditandatangani Sekretaris Jenderal PSSI, Ratu Tisha Destria alias Dek Tisha.

Namun pemberian sanksi kepada suporter dengan alasan politik sebenarnya bertolak belakang dengan realita politisasi di dalam sepak bola Indonesia. Kekinian tidak sedikit pelaku sepak bola mulai dari pengurus klub sampai Ketua PSSI, Edy Rahmayadi sekalipun secara terbuka menunjukkan sikap politiknya. Pria yang juga seorang TNI dengan jabatan Pangkostrad ini secara terang berniat mencalonkan sebagai Gubernur Sumatera Utara dalam Pilkada 2018 mendatang.

"Mari kita tingkatkan kualitas membangun Sumut. Orang Sumut tak ada yang serius urus Sumut, makanya saya pulang!" kata Edy dilansir dari Bolasport.

Dalam beberapa kesempatan kepada media dia hanya pernah mengungkapkan akan mundur sebagai Pangkostrad kalau resmi lolos sebagai calon gubernur. Namun sebaliknya tidak terdengar komentar yang sama keluar dari mulutnya untuk jabatan Ketua PSSI. Mungkin bisa saja nantinya dia tetap menjabat sebagai Ketua PSSI ketika terpilih sebagai gubernur tanpa harus mundur dari jabatannya.

Sementara dilansir dari FourFourTwo, PSSI melalui Sekjen Ratu Tisha Destria mengatakan kalau sikap Edy sebagai kebebasan politik pribadi. Selama tidak mempengaruhi kinerja PSSI tidak akan jadi masalah. "Kebebasan politik pribadi jangan sampai disangkutpautkan dengan masa depan federasi, itu yang bisa saya sampaikan," katanya.

Fenomena pelaku sepak bola yang berpolitik sebenarnya tidak saja terjadi di Indonesia. Di liga-liga top Eropa, sudah menjadi pemandangan biasa manajemen klub dijabat politisi. Sebut saja klub Italia AC Milan yang pernah dimiliki seorang politisi yang juga Perdana Menteri Italia, Silvio Berlusconi. Pemilik klub Inggris, Liverpool, John Wiley. Henry selain pebisnis juga dikenal sebagai politisi. Pria asal Amerika pernah terlibat dalam kampanye salah satu senator dan kandidat presiden AS, John Kerry. Klub asal Inggris lainnya, Chelsea juga dimiliki Roman Abramovich, seorang miliuner Rusia yang pernah menjabat sebagai gubernur dan pemimpin parlemen di salah satu provinsi di wilayah timur Rusia bernama Chukotka.

Sikap pengurus federasi yang berpolitik tetapi di sisi lain melarang ekspresi politik dalam sepak bola karena alasan peraturan dirasa cukup membingungkan. Lantas sebenarnya bolehkah pelaku sepak bola, terutama di Indonesia berpolitik? Dalam statuta PSSI edisi revisi 2011 yang bisa diunduh di website resmi PSSI diatur kalau sepak bola Indonesia harus bebas dari politik. Di dalam pasal 5 tentang Netralitas dan Non Diskriminasi poin 1 disebutkan PSSI bersikap netral dalam hal politik dan agama. Dan di poin 2 disebutkan pula konsekuensi apabila poin 1 dilanggar maka pengurus PSSI yang bersangkutan akan disanksi sampai berujung pemecatan.

PSSI barangkali bisa mensosialisasikan peraturan atau statuta yang mengatur mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam hal politik agar pecinta sepak bola tidak dibuat bingung. Kalau toh pelaku sepak bola diperbolehkan berpolitik bisa dijelaskan seperti apa saja batasannya. Dengan begitu akan lebih jelas sehingga tidak ada prasangka negatif. Semua akan tetap bisa berekspresi tanpa harus tetiba disanksi karena alasan politik yang tidak pernah diketahuinya. Begitu pula pengurus sepak bola juga bisa mendapatkan sanksi kalau melanggar batasan ketika berpolitik.

Namun sebenarnya lebih elok kalau pengurus sepak bola tidak berpolitik. Dengan begitu akan lebih fokus mengurus sepak bola. Mengingat segala sesuatu kalau dilakukan dengan fokus akan mendapatkan hasil maksimal. Kompetisi berjalan lebih sempurna sehingga menghasilkan pemain-pemain berkualitas yang dapat membela timnas. Kalau sudah begitu timnas akan bermain jauh lebih baik dan mimpi untuk berlaga di Piala Dunia bukanlah sesuatu yang mustahil.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline