Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto tetiba menyinggung gaji wartawan saat diwawancari awak media usai peringatan HUT RI ke-72 di Universitas Bung Karno, Kamis (17/8/2017) kemarin. Ia menyebut gaji wartawan kecil dan tidak bisa belanja di mal.
"Kita belain para wartawan. Gaji kalian juga kecil kan? Kelihatan dari muka kalian. Muka kalian kelihatan enggak belanja di mall. Betul ya? Jujur, jujur," kata Prabowo dilansir dari Kompas.com.
Apa yang dikatakan Prabowo itu tidaklah keliru. Sampai kini para wartawan secara umum masih jauh dari kata sejahtera. Rata-rata perusahaan media menggaji para wartawannya sebesar Upah Minimum Regional (UMR) masing-masing setiap daerah. Tidak sedikit malah yang menggaji wartawannya di bawah UMR. Hanya beberapa media besar saja yang menggaji wartawannya dengan upah layak.
Dilansir dari Kompas.com, saat May Day 1 Mei 2016 lalu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) merilis upah layak wartawan pemula Rp 7,54 juta per bulan. Perhitungan upah layak itu berdasarkan sejumlah kategori yang di antaranya makanan, tempat tinggal, laptop plus internet, dan kebutuhan lain.
Perhitungan upah layak sudah memperhitungkan inflasi. Namun rata-rata perusahaan media di Jakarta mengupah wartawannya Rp 3,5 juta. Bahkan ada yang hanya Rp 2,5 juta saja. Sementara hanya beberapa media besar saja seperti Kompas, Jakarta Post, Bisnis Indonesia, Tempo, Metro TV menggaji wartawan pemulanya antara Rp 4-5 juta per bulan.
Padahal wartawan adalah profesional yang berbeda dengan pekerja atau buruh, tetapi dalam industri media wartawan masih mendapatkan upah buruh, malah sebagian lebih rendah dari upah buruh. Wartawan sebagai profesi karena mereka bekerja dibekali Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan memerlukan keahlian khusus.
Sebagai profesional wartawan juga dituntut dengan tanggungjawab sosial yang di antaranya mengutamakan kepentingan masyarakat. Sama saja dengan dokter, dosen, guru dan sejenisnya, tetapi yang membedakan wartawan dengan profesi lain adalah pendapatan yang diterima.
Gaji kecil wartawan membuat mereka jauh dari kata sejahtera. Gaji yang hanya sebesar UMR mungkin hanya pas-pasan bagi wartawan yang masih berstatus bujang dan tidak memiliki tanggungjawab menghidupi orang lain. Namun bagi mereka yang sudah berkeluarga? Itu belum mereka yang berstatus kontributor. Mereka tidak mendapatkan gaji bulanan seperti wartawan yang berstatus karyawan, tetapi kerja mereka dihitung setiap berita yang dimuat media.
Kondisi wartawan yang belum sejahtera membuat mereka sulit untuk bekerja secara profesional. Padahal di dalam KEJ mereka dituntut independen dalam pemberitaannya. Sejumlah oknum wartawan akhirnya ada yang menyerah dengan keadaan dan terpaksa "jual diri" menerima amplop dari narasumber yang mempengaruhi independensi. Mungkin saja mereka saking kepepet. Itu bisa dimaklumi tapi tidak dibenarkan selagi mereka kepepet tidak ada uang untuk kebutuhan hidup, bukan untuk memperkaya diri.
Melihat fenomena demikian tidak sepenuhnya keliru apabila Prabowo berucap gaji wartawan kecil dan tidak bisa belanja di mal. Justru yang harus jadi pertanyaan adalah mereka para wartawan yang belanja beragam barang mahal di mal. Namun tidak sepatutnya pula Prabowo mengucap demikian dengan nyinyir dan untuk menyindir lawan politiknya. Karena yang perlu diingat adalah wartawan dengan segala keterbatasannya adalah pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Dengan perannya mereka para wartawan melaksanakan tanggungjawabnya untuk demokrasi bangsa ini. Terutama mereka wartawan yang bertugas di pelosok-pelosok daerah. Mereka berperan mengabarkan tentang fenomena masyarakat di pelosok-pelosok desa yang sulit dijangkau orang pusat.