Pagi ini, aku tiba-tiba ingin menuliskan soal proses boarding di stasiun kereta api Indonesia. Ide ini muncul saat aku membaca siaran pers Kereta Api Indonesia (KAI).
Pelanggan kereta api pasti sudah tidak asing dengan proses boarding. Kalau ada yang belum tahu, proses ini biasa dilakukan ketika pelanggan yang sudah mencetak tiket boarding pass berwarna oranye, akan memasuki area ruang tunggu di peron.
Pada saat proses boarding, akan ada petugas yang mengecek kesesuaian data antara yang tersimpan di database KAI dengan identitas yang dibawa oleh pelanggan.
Jika data sesuai, maka pelanggan dipersilahkan untuk masuk ke area peron, namun jika tidak maka pelanggan akan diarahkan untuk memperbaikinya di customer service atau loket stasiun.
Sebelum membahas lebih lanjut, aku ingin menceritakan kapan tepatnya proses boarding ini mulai berlaku.
Kalau kalian pernah ingat, dahulu baik penumpang, pedagang, atau orang yang tidak berkepentingan bebas untuk memasuki area peron stasiun. Berbeda dengan saat diterapkannya kebijakan boarding.
Kebijakan boarding ini muncul ketika era kepemimpinan Ignasius Jonan yang menjabat sebagai Direktur Utama (Dirut) KAI periode 2009-2014, seiring dengan mulai digalakkannya revolusi perkeretaapian di Indonesia.
Awalnya, proses ini dilakukan hanya dengan menunjukkan tiket cetak kepada petugas yang berjaga di pintu masuk area peron stasiun. Tujuannya, untuk mencegah orang yang tidak berkepentingan masuk ke area peron stasiun.
Petugas akan memberikan stempel boarding pada tiket tersebut sebagai tanda bukti bahwa sudah dilakukannya proses boarding.
Saat KAI dipimpin Edi Sukmoro, proses boarding sudah menjadi lebih canggih lagi. Pelanggan kereta api diminta men-scan (memindai) QR code di tiket cetak ke mesin pencetak boarding pass.