19 Oktober 1987 menjadi kenangan sejarah terburuk untuk perkeretaapian Indonesia. Di pagi hari yang sibuk itu, terjadi kecelakaan kereta api terparah yang menewaskan setidaknya 139 orang dan 254 orang lainnya mengalami luka-luka.
Kecelakaan Kereta Api di Bintaro disebabkan oleh berbagai faktor. Namun, pada dasarnya hal ini disebabkan karena adanya komunikasi yang salah. Akibatnya, 2 kereta api mengalami tumbukan secara head-to-head di KM17+252 lintas Angke-Tanahabang-Rangkasbitung-Merak.
Menurut versi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), grafik perjalanan kereta api (Gapeka) yang berlaku menjadwalkan KA 225 Lokal Rangkas (Rangkasbitung-Jakarta Kota) tiba di Stasiun Sudimara pada pukul 06.40 dan dijadwalkan bersilang pada pukul 06.49. Namun, KA tersebut mengalami keterlambatan selama 5 menit.
Rencana persilangan antara KA 225 Lokal Rangkas dan KA 220 Patas Merak (Tanah Abang-Merak) yang seharusnya terjadi di Stasiun Sudimara juga mengalami perubahan.
Hal ini dikarenakan ketiga jalur yang berada di stasiun dalam kondisi penuh, sehingga tidak dimungkinkan untuk melakukan persilangan di Stasiun Sudimara.
Pada saat itu, jalur 1 Stasiun Sudimara dalam kondisi buruk dan hanya dipergunakan untuk langsiran dan sepur simpan (jalur simpan), sementara untuk jalur 2 sudah terisi KA 1035 angkutan barang. Di jalur 3 Stasiun Sudimara terdapat KA 225 Lokal Rangkas yang sedang berhenti.
Karena kondisi tersebut, sesuai peraturan dinas yang berlaku saat itu, Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA) Stasiun Sudimara harus meminta izin PPKA Stasiun Kebayoran melalui sambungan telepon.
Selain itu, PPKA Stasiun Sudimara juga harus menyerahkan surat Pemindahan Tempat Persilangan (PTP) secara langsung kepada masinis KA 225 Lokal Rangkas dan kondekturnya.
Sayangnya, peraturan dinas tersebut tidak dipatuhi oleh PPKA Stasiun Sudimara. PPKA memang telah menerbitkan PTP.
Namun surat tersebut hanya diserahkan kepada Petugas Pelayan Kereta Api (PLKA) untuk dibacakan kepada masinis dan kondektur yang bertugas di KA 225 Lokal Rangkas.