Lihat ke Halaman Asli

Ludovicus Mardiyono

Penulis buku "Kingdom Leadership"

Permintaan Maaf DPRD DKI Tidak Tulus

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Kami tiap hari juga minta maaf. Kalau memang dianggap keliru, kita minta maaf," ujar Taufik di gedung DPRD DKI, Jumat (6/3/2015). Hal ini berkaitan dengan kisruh mediasi Pemda DKI dengan DPRD DKI tentang APBD 2015.

Kalau dibaca atau didengar sekilas sepertinya permintaan maaf di atas adalah baik tapi jika kita perhatikan kata-kata yang dipakai kita akan mengetahui bahwa isi hati dan pikiran seseorang yang minta maaf dengan kata-kata seperti di atas adalah tidak tulus.

"... Kalau memang dianggap keliru, kita minta maaf" Kalimat seperti itu muncul dari seseorang yang menganggap dirinya benar dan tidak mau dikoreksi. Ini kesalahan yang sering dilakukan seseorang. Seorang suami kadang juga mengatakan ini kepada istrinya kalau sedang berantem, "Maafkan saya jika salah salah", itu tidak tulus, artinya dia tidak mengakui kesalahannya. Mengapa Pak Taufik tidak mengatakan, "Maafkan DPR, kami salah" lalu dilanjutkan, "Kami akan perbaiki sikap kami"

Apa dampaknya dari kesalahan ini? Saya cukup yakin, tidak akan ada perubahan mendasar dari sikap DPRD, mungkin mereka akan menjaga kata-katanya untuk beberapa saat, satu minggu atau satu bulan - tidak akan bertahan lama atau istilahnya hangat-hangat tai ayam, bahasa Inggrisnya hot-hot chiken's tai. Mereka tetap akan emosi dengan kata-kata kasar bahkan lebih parah.

Teman-teman di DPRD sepertinya bukan orang-orang dewasa secara karakter, mereka tua tapi tidak cukup kuat untuk mengendalikan diri, sabar dan rendah hati. Lalu, sampai dengan masa jabatan mereka habis, saya tidak berani berharap banyak bahwa orang-orang itu (anggota Dewan) akan melakukan sesuatu yang benar untuk warga DKI dan Indonesia. Berat sekali bagi mereka untuk bergerak maju melakukan terobosan. Beban berat itu dikarenakan mereka tidak cukup berkarakter untuk menjadi pemimpin yang melayani. Saya tidak melihat kerendah-hatian mereka. Sangat disayangkan, sistem pemilu kita tidak berhasil memilih orang-orang yang berkarakter tapi memilih orang-orang yang berkarisma. Sayangnya karisma itu tidak akan bertahan tanpa karakter. Karisma hanya mampu membawa orang duduk di kekuasaan tapi hanya karakter yang mampu mempertahannya.

Semoga Indonesia ke depan memiliki sistem pemilu yang mampu membawa para pemimpin yang berkarakter untuk memimpin bangsa dan negara.

Salam dari Belgia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline