"Wah, besok presentasi...?" Mas Dab bergumam lirih sembari menggaruk kepala memelototi jadwal short course di Central European University (CEU). Sebuah kampus baru yang berdiri setelah ambriknya Uni Soviet dan Hungaria melepaskan diri.
CEU seolah menjadi lambang 'kemerdekaan' berpikir dan berekspresi rakyat Hubgaria dari cengkeraman Uni Soviet. Kampus itu makin mentereng karena didirikan oleh pengusaha global George Soros melalui Open Society Institute.
Lima hari sudah dia berada di Budapest, dan kini giliran dia untuk bicara di depan peserta dari berbagai negara soal nasionalisme di Indonesia.
Mas Gondhes, sesama peserta dari Indonesia, cuma nyengir dari seberang meja kantin. "Wis, santai wae, Mas."
"Yo, ndak bisa, Mas. Ini forum internasional dan banyak native speaker. Lha aku? Medhok banget Inggrisku!" Mas Dab tertawa kecut.
Dari 20 peserta, mayoritas berasal dari Eropa dan Amerika, dengan Bahasa Inggris lancar dan elegan. Sementara itu, aksen Jawa Mas Dab selalu ikut nimbrung di setiap kata yang dia ucapkan.
Sore itu, kereta membawa mereka kembali ke penginapan di pinggiran Budapest. Di dalam gerbong, Mas Dab sibuk membaca ulang catatan rencana presentasinya. "The concept of nationalism in Indonesia... cannot be separated from... historical context..." gumamnya, mencoba berbicara selancar mungkin.
Mas Gondhes menyikutnya. "Mas, yang penting ki isine. Kemarin, si Emily yang dari Oxford malah ngomong presentasimu authentic!"
"Authentic bagaimana-e? Wong ngomong 'thank you' malah jadi 'tengkyu' kok!" Mereka berdua tertawa. Di luar jendela kereta, Jembatan Rantai Budapest berdiri megah, menghubungkan dua sisi kota yang penuh sejarah.
Malam itu di penginapan, Mas Dab akhirnya memutuskan untuk berhenti memaksakan aksen. "Ya, yang penting substansinya nyampai," gumamnya sambil memandangi catatan terakhir.