Lihat ke Halaman Asli

Ludiro Madu

TERVERIFIKASI

Dosen

Pilkada Serentak 2024 dalam Demokrasi Digital Indonesia

Diperbarui: 4 Desember 2024   16:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Aplikasi Sirekap (Dok. KPU RI)

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 telah menghadirkan dimensi baru dalam proses demokrasi di Indonesia. Era digital telah mengubah lanskap kampanye politik dari ruang fisik ke ruang virtual, menciptakan dinamika yang berbeda dari pilkada-pilkada sebelumnya. 

Fokus utama yang mendapat perhatian adalah fenomena penyebaran informasi yang sangat cepat di ruang digital dan dampaknya terhadap kualitas demokrasi.

Ruang digital berperan sebagai arena pertarungan informasi dan opini. Berbeda dengan kampanye konvensional yang mengandalkan pengerahan massa, kampanye digital memungkinkan penyebaran pesan politik secara masif tanpa batasan geografis dan temporal.

Dengan 210 juta pengguna aktif di Indonesia, kampanye politik telah mengalami transformasi radikal. Politisi dan peserta pemilihan umum (pemilu) kini berlomba-lomba membangun kehadiran digital yang kuat untuk menjangkau pemilih, terutama generasi muda yang sangat aktif di dunia maya. 

Media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube telah menjadi arena utama pertarungan narasi politik. Apalagi jumlah pemilih muda yang lebih dari 100 juta menjadikan sosial media semakin menarik bagi para pelaku pemilu, termasuk pilkada serentak 2024.

Pendekatan ini menunjukkan pergeseran paradigma yang mendasar. Kampanye politik, yang dahulu mengandalkan pertemuan langsung, kini bergeser ke strategi berbasis algoritma. Ini memungkinkan kandidat untuk menjangkau audiens secara luas dengan biaya yang lebih rendah, sekaligus menyampaikan pesan yang lebih personal.

Tantangan

Tantangan utama dalam dimensi digital Pilkada 2024 adalah kecepatan penyebaran hoaks yang dapat mencapai 20 kali lebih cepat dibandingkan klarifikasinya. Fenomena ini terutama mempengaruhi generasi non-digital yang cenderung kurang kritis dalam memverifikasi informasi sebelum membagikannya. 

Mereka sering terjebak dalam apa yang disebut "bias konfirmasi", di mana informasi yang sesuai dengan keyakinan pribadi langsung diterima dan disebarkan tanpa verifikasi lebih lanjut. Situasi ini diperparah dengan karakteristik media sosial yang memungkinkan anonimitas.

Akibatnya, pengguna merasa lebih bebas dalam menyebarkan informasi tanpa merasa bertanggung jawab atas akurasinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline