Lihat ke Halaman Asli

Ludiro Madu

TERVERIFIKASI

Dosen

Potensi Perang Besar di Timur Tengah Akibat Konflik Israel-Iran

Diperbarui: 4 Oktober 2024   22:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcS7mt0RtrPJwTMul--BRm5ZQqA3Yx8IYU4PpaVy56clBd9VSvgOhPHb6WFM&s=10

Potensi perang besar di Timur Tengah, terutama antara Israel dan Iran, merupakan manifestasi jelas dari adagium realisme dalam hubungan internasional. Adagium itu adalah negara harus selalu siap berperang demi menciptakan perdamaian. 

Prinsip ini sering disebutkan dalam teori realisme bahwa aktor-aktor negara secara inheren bersifat egois dan anarki dalam sistem internasional menuntut mereka mengandalkan kekuatan militer untuk bertahan. Meningkatnya ketegangan antara Israel dan Iran menunjukkan bagaimana konsep ini bekerja dalam dinamika geopolitik Timur Tengah.

Dalam konteks realisme, perang seringkali dipandang sebagai alat untuk mencapai stabilitas melalui kekuatan. Hans Morgenthau (1948), salah satu tokoh utama dalam teori realisme klasik, menggambarkan bahwa politik internasional adalah perjuangan untuk kekuasaan dan negara-negara harus bertindak demi kepentingan nasional mereka dalam kerangka anarki internasional. 

Dalam konflik antara Israel dan Iran, masing-masing negara melihat kekuatan militer sebagai alat untuk mencapai tujuan strategis mereka. Israel, misalnya, melihat program nuklir Iran sebagai ancaman eksistensial dan merasa perlu menggunakan kekuatan militer untuk menetralkan ancaman tersebut.

Pandangan ini seirama dengan pandangan John Mearsheimer, seorang tokoh realisme ofensif. Bagi Mearsheimer, negara-negara besar akan selalu berusaha memaksimalkan kekuasaan mereka untuk mencapai keamanan dalam sistem internasional yang tidak pasti. 

Dalam kasus ini, Israel telah secara konsisten melakukan serangan udara terhadap fasilitas militer dan nuklir Iran, baik secara langsung maupun melalui operasi rahasia. Di sisi lain, Iran menggunakan milisi proksi, seperti Hezbollah dan Hamas untuk menekan Israel dari jarak jauh.  Strategi kedua kelompok itu bertujuan memaksimalkan pengaruh dan kekuatan di wilayah tersebut (Mearsheimer, 2001).

Perang proxy yang terjadi di Suriah antara Iran dan Israel memperlihatkan bagaimana kedua negara menggunakan kekuatan militer dan proksi untuk mempertahankan kepentingan mereka. Iran, yang mendukung pemerintahan Bashar al-Assad, memandang Suriah sebagai wilayah strategis yang harus dipertahankan agar tetap memiliki pengaruh di kawasan tersebut. 

Di sisi lain, Israel secara aktif menargetkan pasukan dan infrastruktur Iran di Suriah untuk mengurangi kehadiran Iran di perbatasan utara mereka (Waltz, 1979). 

Peran AS

Keterlibatan negara-negara besar, seperti Amerika Serikat (AS), dalam konflik ini juga memperlihatkan bagaimana dinamika kekuatan global mempengaruhi stabilitas di Timur Tengah. AS, sebagai sekutu kuat Israel, memiliki kepentingan untuk menjaga keunggulan militer Israel di kawasan tersebut. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline