Menjelang pelantikan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia pada 20 Oktober 2024, wacana pembentukan kabinet zaken kembali mengemuka.
Prabowo disebut-sebut akan lebih banyak memilih profesional dan membentuk kabinet zaken untuk membantu pemerintahannya (Susilo, 2024).
Meski begitu, besarnya koalisi partai politik pendukung Prabowo-Gibran memunculkan skeptisisme terhadap terwujudnya kabinet zaken yang ideal. Apalagi koalisi parpol itu akan bertambah PDIP, konon.
Artikel ini mencoba melihat kemungkinan terbentuknya kabinet zaken di era koalisi gemuk dan urgensi menjaga stabilitas politik dalam pemerintahan mendatang.
Pengalaman
Kabinet zaken, yang secara harfiah berarti "kabinet ahli", merujuk pada susunan kabinet yang didominasi oleh para profesional dan ahli di bidangnya, bukan politisi partisan (Aspinall, 2015). Indonesia pernah memiliki pengalaman positif dengan kabinet zaken.
Pertama, pada masa Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja (1957-1959). Pengalaman kedua adalah kabinet Mohammad Natsir (1950-1951).
Kabinet Djuanda, misalnya, berhasil menetapkan batas laut 12 mil yang diakui secara internasional.
Lalu, Kabinet Natsir sukses meningkatkan devisa negara dan mengontrol inflasi (Susilo, 2024).
Dalam hubungan internasional, kabinet Natsir juga mampu menjalin kerjasama internasional, misalnya, melalui Gerakan Non Blok (GNB) dalam diplomasi Indonesia. Kabinet Natsir juga berhasil mengembalikan Irian Barat ke Indonesia.