Lihat ke Halaman Asli

Ludiro Madu

TERVERIFIKASI

Dosen

Peran Twitter/X dalam Transformasi Diplomasi Indonesia

Diperbarui: 20 September 2024   23:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

x.com/tweetplomacy

Di era globalisasi dan digitalisasi, diplomasi telah mengalami transformasi signifikan. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, terutama media sosial, telah membuka dimensi baru dalam praktik diplomasi internasional. Fenomena ini dikenal sebagai diplomasi digital atau e-diplomacy. 

Indonesia, sebagai negara berkembang dengan populasi pengguna internet yang besar, juga telah mengadopsi pendekatan ini dalam strategi diplomatiknya. Artikel ini akan menganalisis transformasi diplomasi di era digital dengan fokus pada studi kasus diplomasi Twitter yang dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI).

Diplomasi digital didefinisikan sebagai penggunaan teknologi digital, terutama internet dan media sosial, untuk mencapai tujuan diplomatik (Bjola & Holmes, 2015). Dalam konteks ini, Twitter atau X telah muncul sebagai platform yang sangat efektif untuk diplomasi publik dan komunikasi internasional. Kemampuannya untuk menyebarkan informasi secara cepat dan luas, serta potensi untuk interaksi langsung dengan publik, menjadikan X sebagai alat yang berharga bagi para diplomat dan institusi pemerintah (Seib, 2012).

Kemlu RI mulai menggunakan Twitter secara aktif melalui akun @Kemlu_RI sejak 2010. Penggunaan platform ini merupakan bagian dari strategi diplomasi digital Indonesia yang lebih luas, yang bertujuan untuk meningkatkan visibilitas dan pengaruh Indonesia di panggung internasional (Madu, 2018). Analisis terhadap aktivitas Twitter Kemlu RI menunjukkan beberapa aspek penting dari transformasi diplomasi Indonesia di era digital.

Pertama, Twitter telah menjadi saluran komunikasi langsung antara Kemlu RI dengan publik, baik domestik maupun internasional. Melalui @Kemlu_RI, kementerian dapat menyampaikan informasi terkini tentang kebijakan luar negeri Indonesia, perkembangan isu internasional, dan layanan konsuler secara real-time (Arifin, 2020). Hal ini meningkatkan transparansi dan aksesibilitas informasi diplomatik, yang sebelumnya cenderung eksklusif dan terbatas.

Kedua, diplomasi Twitter memungkinkan Indonesia untuk merespons isu-isu internasional dengan cepat dan efisien. Misalnya, selama pandemi COVID-19, @Kemlu_RI aktif menyebarkan informasi tentang bantuan internasional yang diberikan dan diterima Indonesia, serta koordinasi global dalam penanganan pandemi (Saputra & Adiputra, 2021). Kecepatan respons ini penting dalam membangun citra Indonesia sebagai aktor global yang responsif dan bertanggung jawab.

Ketiga, platform ini telah menjadi alat untuk nation branding dan soft power Indonesia. Melalui konten-konten yang mempromosikan budaya, pariwisata, dan pencapaian Indonesia, Kemlu RI berupaya membangun citra positif negara di mata internasional (Luerdi & Sari, 2019). Strategi ini sejalan dengan konsep diplomasi publik digital yang menekankan pentingnya membangun narasi nasional yang menarik di era informasi (Manor, 2019).

Namun, diplomasi Twitter juga membawa tantangan tersendiri. Salah satunya adalah risiko kesalahan komunikasi atau misinterpretasi pesan diplomatik karena keterbatasan karakter Twitter. Kasus kontroversi terkait tweet @Kemlu_RI tentang situasi di Myanmar pada 2021 menunjukkan bagaimana pesan diplomatik di Twitter dapat menimbulkan reaksi negatif jika tidak dirumuskan dengan hati-hati (Bayuni, 2021).

Selain itu, efektivitas diplomasi Twitter Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti bahasa dan target audiens. Penggunaan bahasa Inggris dalam beberapa tweet @Kemlu_RI menunjukkan upaya untuk menjangkau audiens internasional, namun hal ini juga dapat mengurangi keterlibatan publik domestik yang lebih nyaman dengan bahasa Indonesia (Madu, 2018).

Studi komparatif menunjukkan bahwa dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, diplomasi Twitter Indonesia melalui @Kemlu_RI cukup aktif dan responsif. Namun, jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat atau Inggris, masih ada ruang untuk peningkatan dalam hal frekuensi posting, interaktivitas, dan penggunaan konten multimedia (Ilan, 2020).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline