Fenomena viralnya tagar #KawalPutusanMK di platform media sosial X (sebelumnya Twitter) merupakan manifestasi kontemporer dari pertarungan wacana dalam ruang publik digital Indonesia.
Tagar ini muncul sebagai respons terhadap upaya Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk merevisi Undang-Undang Pilkada, yang dianggap oleh banyak pihak sebagai langkah untuk menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat pencalonan kepala daerah.
Lalu, bagaimana memahami viralnya tagar itu dalam carut-marut politik menjelang transisi 2024?
Dalam perspektif teori wacana Ernesto Laclau, fenomena ini dapat dianalisis sebagai sebuah artikulasi hegemonik yang berusaha menetapkan makna dominan dalam ruang sosial yang selalu kontingen dan terbuka.
Pentingnya konteks
Untuk memahami signifikansi #KawalPutusanMK, kita perlu melihat konteks politik Indonesia sejak pemilihan presiden (pilpres) 2024. Pilpres 2024 yang dimenangkan oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah mengubah lanskap politik Indonesia.
Kemenangan ini tidak lepas dari kontroversi, terutama terkait putusan MK yang memperbolehkan Gibran, putra Presiden Joko Widodo, untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden meskipun belum memenuhi syarat usia minimal.
Pasca pemilu, dinamika politik semakin memanas dengan munculnya berbagai isu sensitif, termasuk wacana perpanjangan masa jabatan presiden dan upaya revisi berbagai undang-undang krusial. Situasi ini memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat sipil akan potensi kemunduran demokrasi di Indonesia.
Dalam konteks inilah #KawalPutusanMK menjadi titik nodal (nodal point) yang mengartikulasikan berbagai tuntutan dan identitas politik yang berbeda ke dalam rantai ekuivalensi (chain of equivalence).
Tagar ini berfungsi sebagai penanda kosong (empty signifier) yang mampu mewadahi beragam aspirasi masyarakat, mulai dari penegakan supremasi hukum, perlindungan demokrasi, hingga kritik terhadap oligarki politik.