Kepak sayap Garuda Muda mulai membawa harapan sebuah bangsa yang haus akan kejayaan. Kemenangan tim sepak bola U-19 Indonesia di Piala AFF 2023 bukan sekadar prestasi olahraga, melainkan sebuah tarian diplomasi yang memikat mata dunia.
Sepak bola adalah tarian kaki yang membelah langit dan bumi (Sindhunata, 2002). Demikian pula, kemenangan ini membelah sekat-sekat politik, menyatukan bangsa dalam euphoria yang memabukkan.
Tiupan panjang peluit wasit menandai kemenangan Indonesia atas Thailand di final dengan skor 1-0, ribuan suara membahana di Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya. Suara-suara itu bukan hanya sorak-sorai kemenangan, tetapi juga gema sejarah yang panjang.
Sejarah tentang perjuangan sebuah bangsa untuk diakui di kancah internasional. Dalam setiap tendangan, dalam setiap gol, tersimpan narasi tentang Indonesia yang bangkit, yang tak gentar menghadapi lawan-lawan tangguh di kawasan.
Simbol
Kemenangan ini menjadi simbol kebangkitan sepak bola Indonesia setelah sekian lama terpuruk. Seperti burung garuda yang bangkit dari abu, tim nasional U-19 membuktikan bahwa Indonesia masih memiliki talenta-talenta muda yang siap bersaing di level tertinggi.
Ini memang bukan cuma soal sepak bola, tapi tentang harga diri bangsa. Prestasi di lapangan hijau memiliki makna yang jauh lebih dalam bagi identitas nasional.
Dalam konteks diplomasi, kemenangan Garuda Muda menjadi soft power yang efektif bagi Indonesia. Joseph Nye, pencetus konsep soft power, pernah mengatakan bahwa kemampuan untuk menarik dan mempengaruhi tanpa paksaan adalah kekuatan yang tak ternilai dalam hubungan internasional (Nye, 2004).
Sepak bola, dengan daya tariknya yang universal, menjadi medium sempurna untuk diplomasi budaya Indonesia. Melalui permainan yang menghibur dan sportivitas yang ditunjukkan, tim Indonesia berhasil menarik simpati dari berbagai pihak.