Lihat ke Halaman Asli

Ludiro Madu

TERVERIFIKASI

Dosen

Final Euro 2024: Dua Visi Masa Depan Eropa Bertemu

Diperbarui: 13 Juli 2024   15:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

voi.id

Lapangan rumput di Olympiastadion, Berlin, Jerman, akan menjadi saksi siapa yang paling digdaya di pesta bola Eropa 2024. Besok Minggu , 14 Juli 2024, Three Lions Inggris akan bertemu La Roja Spanyol di final Piala Eropa. 

Dua jiwa Eropa bersiap untuk menari dalam tarian terakhir mereka. Inggris, dengan Three Lions-nya yang haus akan kejayaan, berhadapan dengan La Roja Spanyol yang telah menemukan jati diri barunya. 

Olympiastadion, saksi bisu dari begitu banyak drama sepak bola, kini menjadi panggung bagi pertarungan yang lebih dari sekadar olahraga. Laga final itu adalah pertemuan dua visi tentang masa depan Eropa.

Jude Bellingham, sang maestro muda Inggris, berdiri di tengah lapangan bagai seorang ksatria yang siap berperang. Matanya menyala dengan api determinasi, tangannya menggenggam erat mimpi sebuah bangsa. 

Di usianya yang baru menginjak 21 tahun, ia telah menjadi jantung dari Tim Tiga Singa, membawa harapan akan kejayaan yang telah lama dinantikan. Bellingham bukan hanya pemain sepak bola; ia adalah manifestasi dari Inggris pasca-Brexit yang ingin membuktikan bahwa mereka masih relevan di panggung Eropa.

Di sisi lain lapangan, Lamine Yamal, si bocah ajaib Spanyol, menunggu dengan ketenangan yang melampaui usianya. Pada usia 17 tahun, ia telah menjadi simbol dari kebangkitan dan transformasi La Roja

Yamal bukan sekadar pemain berbakat; ia adalah cerminan dari Spanyol modern yang multikultur dan progresif. Kehadirannya di tim nasional menjadi metafora sempurna untuk integrasi dan kekuatan keberagaman yang menjadi inti dari visi Uni Eropa.

Pertandingan ini lebih dari sekadar perebutan trofi. Ini adalah pertarungan ideologi, pertempuran antara isolasionisme dan integrasi, antara nostalgia kejayaan masa lalu dan visi tentang masa depan yang inklusif. 

Inggris, dengan sejarah panjang sepak bolanya, membawa beban ekspektasi sebuah bangsa yang merindukan kejayaan di panggung internasional pasca-Brexit. Sementara Spanyol, dengan transformasi tim nasionalnya, menjadi representasi dari Eropa yang terus berevolusi dan beradaptasi.

Namun, di tengah gegap gempita pertandingan, ada satu momen hening yang menggetarkan jiwa. Saat lagu kebangsaan dikumandangkan, para pemain Spanyol berdiri dalam diam. Tidak ada lirik yang dinyanyikan, hanya instrumentalnya yang mengalun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline