Di bawah langit musim panas Eropa 2024, Jerman kembali menggelar perhelatan akbar sepak bola. Namun, lebih dari sekadar turnamen, ini adalah panggung di mana Die Mannschaft, julukan timnas Jerman, memamerkan hegemoninya ---sebuah kekuasaan yang tak hanya diukur dari trofi, tapi juga dari bagaimana mereka telah mengubah wajah sepak bola dunia.
Bayangkan sepak bola sebagai sebuah orkestra. Jika demikian, maka Jerman adalah konduktornya. Mereka tidak hanya memainkan musik, tapi juga mendikte irama, menentukan tempo, dan membentuk harmoni permainan.
Inilah esensi dari hegemoni yang diungkapkan Antonio Gramsci, seorang filsuf Italia, penulis, dan teoritikus politik. Bagi Gramsci, hegemoni adalah kekuasaan yang tak sekadar dimenangkan, tapi juga harus mendikte narasi (Gramsci, 1971).
Jerman memimpin klasemen Grup A di Piala Eropa 2024. Dua kemenangan dari Skotlandia (5-1) dan Hungaria (2-0) memastikan Jerman lolos ke babak 16 besar.
Jerman telah lama menjadi maestro di panggung sepak bola dunia. Empat mahkota Piala Dunia dan tiga gelar Piala Eropa bukanlah sekadar angka, tapi bukti dari konsistensi yang hampir tak tertandingi.
Namun, hegemoni Jerman lebih dari sekadar koleksi trofi. Ini adalah tentang bagaimana mereka telah mengubah 'bahasa' sepak bola. Mereka menciptakan dialek baru yang kini dipelajari dan ditiru di seluruh penjuru bumi.
Di era globalisasi ini, sepak bola Jerman telah menjadi semacam 'lingua franca'. Dari lapangan becek di pelosok Afrika hingga akademi mewah di Amerika, filosofi sepak bola Jerman - efisiensi, disiplin, dan kerja tim - telah menjadi mantra yang diucapkan para pelatih.
Inilah bentuk soft power yang bahkan mungkin membuat para diplomat iri. Kemampuan Franz Beckenbauer, Jurgen Klinsmann, Lothar Matthaus, Toni Kroos, dan lainnya menggocek bola bagaikan para diplomat di meja perundingan.
Jerman telah membangun imperium sepak bola mereka, bukan dengan pedang dan meriam, tapi dengan taktik dan talenta. Akademi-akademi mereka adalah pabrik yang tak henti memproduksi bintang-bintang baru. Sementara itu, pelatih-pelatih mereka - Klopp, Tuchel, Flick, Loew, Heynckes- adalah para misionaris yang menyebarkan 'ajaran' sepak bola Jerman ke seluruh dunia.
Namun, seperti halnya setiap imperium dalam sejarah, hegemoni Jerman pun menghadapi tantangan. Spanyol dengan tiki-takanya, Prancis dengan talenta-talenta mudanya, dan Belgia dengan 'generasi emas'nya. Semua bertanding untuk merebut tahta.