Lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, telah memainkan peran penting dalam ekonomi politik global sejak akhir Perang Dunia II. Kita tentu saja masih ingat bagaimana IMF telah membantu negara-negara di Asia, termasuk Indonesia, keluar dari krisis ekonomi 1997.
Meskipun tujuan awal kedua lembaga internasional itu adalah untuk mempromosikan stabilitas ekonomi dan pembangunan, pendekatan Marxis meyakini bahwa lembaga-lembaga ini justru melanggengkan ketergantungan dan keterbelakangan negara-negara berkembang. Melalui pisau analisa itu, esai ini melihat bagaimana IMF dan Bank Dunia, sebagai instrumen kapitalisme global, telah mempertahankan ketimpangan struktural antara negara-negara maju dan berkembang.
Soal Ketergantungan Struktural
Teori ketergantungan, yang berakar pada pemikiran Marxis, berpandangan bahwa keterbelakangan negara-negara Dunia Ketiga adalah hasil dari integrasi mereka ke dalam sistem kapitalis dunia yang didominasi oleh negara-negara maju (Dos Santos, 1970).
Masih dalam kerangka Marxis, Immanuel Wallerstein (1974) mengembangkan teori sistem dunia. Menurut Wallerstein, dunia dibagi menjadi negara-negara inti (core), semi-pinggiran (semi-periphery), dan pinggiran (periphery).
Teori ini menjelaskan negara-negara inti telah mengeksploitasi negara-negara pinggiran melalui pertukaran tidak seimbang dan ekstraksi nilai lebih. Struktur semacam itu mengakibatkan ketergantungan struktural yang menghambat pembangunan di negara-negara pinggiran.
IMF
Bagi kubu Marxis, IMF dan Bank Dunia adalah pemain kunci dalam sistem kapitalis global. IMF bertindak mempertahankan ketergantungan negara-negara berkembang melalui program-program penyesuaian strukturalnya (structural adjustment programs/SAP).
Untuk mendapatkan pinjaman, IMF sering kali mematok syarat berat, yaitu memaksakan kebijakan-kebijakan neoliberal. IMF memaksa negara-negara yang meminta bantuannya menjalankan liberalisasi perdagangan, privatisasi, dan pengetatan anggaran, yang merugikan masyarakat miskin dan melanggengkan ketimpangan (Harvey, 2005).
Praktik ini masih berlanjut hingga saat ini, seperti yang terlihat dalam respons IMF terhadap krisis ekonomi yang dipicu oleh pandemi COVID-19. IMF terus mendorong langkah-langkah pengetatan anggaran dan reformasi struktural sebagai syarat untuk mendapatkan pinjaman darurat, meskipun kebijakan-kebijakan ini dapat memperburuk kemiskinan dan ketimpangan di negara-negara berkembang.