Lihat ke Halaman Asli

Ludiro Madu

TERVERIFIKASI

Dosen

Pelajaran dari Konser Taylor Swift di Singapura bagi Diplomasi Budaya Indonesia

Diperbarui: 11 Maret 2024   08:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Frazer Harrison/Getty Images/AFP via KOMPAS.com

Konser mega bintang Taylor Swift di Singapura baru-baru ini tidak hanya menjadi perayaan musik, tetapi juga menunjukkan bagaimana negara kota tersebut secara cerdas menggunakan acara hiburan sebagai alat diplomasi budaya di kawasan Asia Tenggara.

Sebagai negara tetangga dengan banyak kesamaan budaya, Indonesia dapat mengambil pelajaran berharga dari strategi Singapura dalam memanfaatkan soft power untuk meningkatkan citranya di kancah internasional. Apalagi soft power Indonesia dalam bentuk budaya tidak kurang berlimpahnya ketimbang Singapura.

Upaya belajar dari negara lain ini sangat menarik di tengah kemarahan seorang pejabat tinggi soal hilangnya momentum Indonesia menggaet Taylor Swift. Publik tentu saja ingat dengan konser grup musik Cold Play yang berlangsung seminggu di Singapura juga beberapa waktu lalu.

Soal soft power itu, kita bisa merujuk Joseph Nye , seorang pakar hubungan internasional dari Harvard University, AS. Menurut Nye (2004), budaya populer seperti musik dapat menjadi sumber soft power yang efektif bagi suatu negara dalam diplomasi.

Dengan mengundang artis sekaliber Taylor Swift, Singapura ingin menunjukkan daya tarik dan pengaruh budayanya di regional. Ini adalah langkah strategis untuk melengkapi citra Singapura yang telah dikenal sebagai pusat bisnis dan keuangan di Asia Tenggara, dengan menampilkan sisi modernitas dan dinamisme gaya hidupnya.

Niatan itu bahkan dinyatakan sendiri oleh PM Singapura, Lee Shien Loong. Secara terbuka, Singapura mendapatkan konser eksklusif dari artis populer itu. Dengan kontrak eksklusif itu, Taylor tidak perlu melakukan konser keliling negara-negara di Asia Tenggara.

Kenyataan itu menunjukkan bahwa Singapura juga memahami diplomasi budaya. Perkembangan pada saat ini menyebabkan diplomasi tidak hanya berkaitan dengan hubungan government-to-government, tetapi juga people-to-people.

Seperti diungkapkan oleh Paul Rockower (2011), "semakin banyak negara menggunakan instrumen diplomasi budaya, seperti musik untuk mempromosikan citra positif mereka di luar negeri." Konser musik internasional menjadi ajang bertemunya penggemar dari berbagai negara, menciptakan koneksi lintas-budaya yang dapat menumbuhkan saling pengertian antar bangsa di tingkat akar rumput.

Perkembangan itu sejalan dengan konsep new public diplomacy yang diajukan oleh Jan Melissen (2005). Dalam diplomasi semacam itu keterlibatan masyarakat menjadi kunci untuk membangun hubungan dalam jangka panjang.

Keberhasilan Singapura sebagai tuan rumah konser internasional tentunya tidak lepas dari beberapa kelebihan yang dimilikinya dibandingkan negara-negara lain di kawasan, termasuk Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline