Publik pemilih presiden 2024 di Indonesia tidak akan lupa dengan ulah Gibran Rakabuming Raka di debat pertama calon wakil presiden (cawapres). Pada debat pertama, ulah Gibran ditujukan ke cawapres Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dengan pertanyaan soal the State of Global Islamic Economy (SGIE).
Seolah ingin menyeimbangkan serangan, Gibran juga meminta pandangan cawapres Mahfud Md mengenai carbon capture and storage (CCS). Kedua istilah itu segera disambut dengan sorak-sorai dukungan dan kutukan kepada Gibran.
Tulisan ini bukan merupakan wujud dukungan, apalagi sebuah kutukan. Sebaliknya, tulisan ini mencoba belajar lebih jauh mengenai CCS itu dari sudut pandang studi Hubungan Internasional.
Dengan kacamata itu, tulisan ini juga melihat strategi nasional Indonesia untuk merespon isu CCS itu. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan, atau lebih tepatnya insight, tentang bagaimana isu internasional ini harus diantisipasi untuk meminimalkan resiko di masa depan, khususnya dalam jangka waktu 5 tahun ke depan di bawah pemerintahan baru.
Sebagai negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, Indonesia memiliki komitmen yang kuat terhadap berbagai international regime untuk penanganan emisi karbon dan perubahan iklim global. Salah satu teknologi penting yang kini ramai dibahas adalah carbon capture and storage (CCS).
CCS berkaitan dengan upaya penangkapan karbondioksida dari kegiatan industri sebelum dilepas ke atmosfer, untuk kemudian disimpan di bawah tanah atau lautan secara permanen.
Aturan internasional
Menurut pakar hubungan internasional, seperti Stephen Krasner, international regime merupakan serangkaian norma, aturan, dan prosedur yang mengatur berbagai isu dalam hubungan internasional.
CCS bisa dikatakan telah menjadi bagian dari regime solusi perubahan iklim global. Oleh sebab itu, ratifikasi dan penerapan CCS di tingkat nasional merupakan bentuk kontribusi konkret Indonesia pada regime internasional tersebut.
Selain itu, penerapan teknologi carbon capture and storage (CCS) oleh Indonesia merupakan elemen integral dalam diplomasi dan strategi negara ini memenuhi komitmen internasionalnya di bidang iklim (Amalia, 2021). Pakar HI, Rebecca Adler-Nissen (2014), menjelaskan “compliance adalah dasar berfungsinya tata kelola global.