Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN menjadi salah satu mekanisme strategis untuk menyelesaikan persoalan internal di kawasannya, termasuk krisis Myanmar.
Urgensi persoalan Myanmar menjadikannya sebagai satu-satunya persoalan paling kompleks. Akibatnya, krisis Myanmar menjadi batu sandungan terberat bagi ASEAN.
Krisis Myanmar telah menempatkan ASEAN pada situasi yang dilematis. Di satu sisi, ASEAN harus mengambil sikap dan tindakan kongkrit mengatasi konsekuensi ekonomi dari pandemi Covid-19 sejak 2020. Walaupun tertatih-tatih dalam mengupayakan respon regional, ASEAN mampu mencapai beberapa kesepakatan regional menyikapi pandemi itu.
Di sisi lain, ASEAN tiba-tiba juga harus menghadapi tekanan dari dalam kawasannya sendiri ketika junta militer Myanmar mengkudeta pemerintahan sipil (01/02/2021) yang terpilih secara demokratis pada akhir November 2020.
Ketika krisis Myanmar belum mencapai kemajuan berarti dalam penyelesaian damai, ASEAN juga dipaksa menanggapi perang Rusia-Ukraina sejak 24 Februari 2022 dan konsekuensinya.
Konsekuensi itu terkait dengan pengaruh geopolitik dari perang tersebut yang menjangkau kawasan Asia Tenggara, baik di tingkat negara secara individual maupun ASEAN secara kolektif. Walaupun ASEAN bersikap netral, tiap negara anggota ASEAN memiliki perbedaan sikap terhadap perang tersebut dan implikasinya.
Dalam konteks itu, KTT ASEAN 2022 berlangsung dalam suasana yang diliputi ketegangan regional dan global. Apalagi krisis Myamar juga berlangsung dalam suasana rivalitas di antara negara-negara besar, seperti Amerika Serikat (AS) dengan China dan Rusia.
Realitas konfliktual itu seolah membayangi pertemuan para pemimpin ASEAN di Phnom Penh. Selanjutnya, KTT ASEAN juga disusul dengan berbagai pertemuan tingkat tinggi lain secara bilateral, misalnya antara ASEAN-AS, ASEAN-Jepang, ASEAN-Australia, dan sebagainya.
Jalan Buntu
Hingga KTT ke-40 dan ke-41 pada 2022 ini, ASEAN tetap mempertahankan kebijakan regionalnya.