Semakin lama berkuasa, junta militer Myanmar semakin menjadi batu sandungan di Asia Tenggara dan menimbulkan kecaman internasional. Memang Myanmar bukan satu-satunya negara di kawasan ini yang pemerintahannya dipimpin kelompok militer.
Ada juga Thailand, namun perilaku militer Thailand di dalam memerintah negara cenderung berbeda dan bisa diterima masyarakat alias memiliki legitimasi politik.
Bahkan jika dimasukkan ke dalam sistem politik tertutup atau otoritarianisme, maka Myanmar juga bukan satu-satunya negara yang menganut sistem itu di Asia Tenggara. Vietnam, Laos, dan Kamboja juga menganut sistem yang sama dengan Myanmar.
Namun pemerintahan di negara-negara itu tidak melakukan kekerasan terhadap rakyatnya ketika memerintah.
Namun, yang membedakan Myanmar dari negara-negara lain di kawasan ini adalah kelompok militer merebut kekuasaan melalui kudeta dari pemerintahan hasil pemilu November 2020.
Kudeta militer menjadi persoalan terbesar sebagai penyebab masyarakat internasional tidak menerima junta militer yang berkuasa. Akibatnya, Myanmar mengalami krisis multi-dimensi, baik masalah sosial, ekonomi, dan politik.
Yang lebih parah adalah, masyarakat Myanmar tidak menerima kekuasaan junta militer alias tidak mendapat legitkmasi politik. Dalam kondisi itu, pemerintah junta militer selalu mendapat penentangan politik dari rakyatnya.
Beberapa penyebab kecaman keras dari masyarakat internasional itu adalah tindakan kekerasan, penangkapan dan penahanan aktivis oposisi pemerintahan junta.
Para aktivis berasal dari kelompok masyarakat pendukung National League for Democracy (NLD) yang dipimpin Aung San Suu Kyi.
Setelah kudeta muncul gerakan masyarakat bernama National United Government (NUG). Salah satu pendukung kuat NUG adalah perwakilan Myanmar di PBB.