Walaupun sudah selesai, pertemuan para menteri luar negeri (menlu) atau Foreign Ministers Meeting (FMM) G20 menegaskan pertentangan antara netralitas Indonesia melawan kepentingan global Amerika Serikat (AS).
Pertentangan itu ditunjukkan oleh protes media internasional, negara-negara Barat, dan menlu Rusia Sergei Lavrov yang walk-out.
Walau informasi resmi Kementerian Luar Negeri Indonesia menyanggahnya, peristiwa Menlu Lavrov walk-out justru lebih menjadi perhatian dunia.
Diplomasi G20
Kenyataan tersebut mengindikasikan lebih beratnya diplomasi Indonesia sebagai Presiden G20 pada 2022 ini.
Berbeda dengan 2 tahun sebelumnya yang hanya berfokus pada pemulihan ekonomi sebagai akibat dari pandemi Covid-19, Presidensi Indonesia juga dihadapkan pada pemulihan ekonomi sebagai dampak dari perang Rusia-Ukraina.
Sejak awal perang tersebut, diplomasi Indonesia seakan mengalami tarikan menjadi pendamai kedua negara yang berperang.
Dalam situasi tarik-menarik kepentingan global itu, posisi Indonesia sudah jelas sejak Presiden Joko Widodo menyampaikan pendapatnya melalui akun Twitter-nya. Indonesia menolak perang dan tidak mendukung salah satu pihak.
Sikap ini merupakan wujud nyata dari doktrin politik luar negeri, yaitu bebas dan aktif. Namun demikian, sikap yang cenderung berpegang pada nilai-nilai universal itu dipandang tidak jelas.
Dalam perspektif Hubungan Internasional, sikap Indonesia lebih mengacu pada konstruktivisme. Bukan mendukung salah satu negara yang cenderung berpegang pada pendekatan Realisme. Menolak perang lebih penting ketimbang membela salah satu negara.