Upaya Association of South East Asian Nations (ASEAN) menyelesaikan krisis Myanmar sepertinya telah menempatkan kedua pihak dalam situati tarik-ulur berkepanjangan.
ASEAN dan Myanmar belum mencapai kesepakatan bersama hingga kini. Alih-alih mencapai perdamaian bagi Myanmar, kedua pihak belum mencapai kemajuan berarti.
Bagi ASEAN, sejak junta militer sudah berkuasa pada 1 Februari 2021, Myanmar telah menjadi penghambat bagi ASEAN. Lebih dari satu tahun yang lalu, ASEAN terpaksa melepaskan diri dari dilema prinsip non-intervensi.
Pada 24 April 2021, para pemimpin ASEAN bertemu secara langsung di Sekretariat ASEAN (Jakarta) untuk membicarakan penyelesaian damai bagi krisis di Myanmar.
Pada pertemuan bersejarah itu, ke-10 pemimpin ASEAn, termasuk pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, berhasil menyepakati lima poin konsensus bagi krisis Myanmar.
Konsensus itu sebenarnya merupakan solusi ASEAN untuk keluar dari dilema yang diakibatkan oleh prinsip non-intervensi. Sejak pembentukannya pada 1967, prinsip itu telah memaksa ASEAN berhati-hati dalam menyelesaikan persoalan domestik di salah satu negara anggotanya.
Gagalnya Diplomasi ASEAN
Konsensus ASEAN sebenarnya dapat disebut sebagai solusi atas dilema yang dihadapi oleh satu-satunya organisasi di kawasan Asia Tenggara itu. Melalui konsensus itu, para pemimpin ASEAN bersama Jenderal Hlaing meyetujui peta jalan damai bagi krisis Myanmar.
Peta jalan itu tertuang dalam lima poin konsensus ASEAN. Kelima poin konsensus itu meliputi penghentian kekerasan di Myanmar, dialog konstruktif menuju solusi damai, penunjukan utusan khusus sebagai mediator dialog, bantuan kemanusiaan, serta kunjungan utusan khusus dan delegasi ASEAN ke Myanmar.
Namun demikian, setelah pertemuan itu, kenyataan di Myanmar menunjukkan jalan berbeda. Pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Hlaing, yang awalnya setuju justru mengingkari lima konsensus ASEAN itu.