Membicarakan politik luar negeri Rusia kontemporer tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dan peran besar Presiden Vladimir Vladimirovich Putin.
Latihan bersama militer Rusia dan Belarusia beberapa hari lalu, tetap bercokolnya Russia di Afghanistan dan Suriah, hingga pengaruh Rusia dalam terpilihnya Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) tentu saja harus melibatkan pemikiran Putin.
Demikian juga, penanganan pandemi Covid-19, bantuan Rusia kepada Italia di pertengahan 2020 lalu, hingga keberhasilan Rusia dalam pembuatan vaksin Sputnik V menjadi bukti efektifnya kekuatan Putin di tingkat domestik dan internasional.
Saking besar dan luasnya pengaruh Putin maka muncul istilah Putinisme.
Putin dan Putinisme seakan telah menjadi semacam sistem politik di Rusia. Menurut Legvold (2018), istilah Putinisme merujuk pada ide, perilaku, dan emosi masyarakat Rusia mengenai negara-nya. Ide Putinisme tercermin pada semangat Rusia untuk membangkitkan kembali kejayaannya sebagai negara kuat, anti-Barat, dan konservatif, seperti Uni Soviet (US) di masa lalu.
Putin dan Putinisme menjadi faktor strategis dalam pembuatan kebijakan luar negeri Rusia. Secara teoritis, pengaruh orang kuat (seperti kepala negara/pemerintahan) menjadi salah satu faktor domestik yang mempengaruhi perumusan politik luar negeri dari sebuah negara.
Faktor domestik lainnya adalah kelompok-kelompok kepentingan (seperti partai politik, think-tank, atau lembaga swadaya masyarakat, dan lain-lain) dan struktur nasional (misalnya, sistem politik dan ekonomi, parlemen, lembaga yudikatif, militer, dan sebagainya.
Dalam kebijakan luar negeri Rusia, faktor Putin dan Putinisme menjadi paling dominan dalam mengatur persepsi Rusia terhadap struktur internasional, berbagai kerjasama ekonomi, dan hubungan bilateralnya, termasuk dengan AS dan China.
Pertanyaan yang muncul, yaitu: bagaimana awal mula dan perkembangan Putin dan Putinisme? Bagaimana pengaruhnya terhadap kebangkitan kembali kekuatan global Rusia?
Asal-Usul
Di satu sisi, ide itu muncul sebagai solusi atas Rusia yang tidak lagi sekuat dan dihormati negara-negara lain seperti di masa kedigdayaan US. Ketika memerintah Rusia, Mikhail Gorbachev menerapkan kebijakan Glasnost dan Perestroika. Pada dasarnya, kedua kebijakan itu mendorong Rusia melakukan reformasi ekonomi dari ekonomi tertutup menjadi terbuka. Selanjutnya, Perestroika mengubah sentralisasi menjadi desentralisasi kekuasaan.