Adakah peristiwa cancel culture antar-negara dalam hubungan internasional? Jika cancel culture diterjemahkan menjadi aksi boikot, maka hubungan internasional tidak pernah sepi dari aksi boikot.
Dalam konteks hubungan internasional, cancel culture dapat didefinisikan sebagai upaya satu atau beberapa negara atau aktor internasional untuk secara individual atau kolektif memboikot negara lain atau kelompok di negara lain.
Aktor internasional (bisa dalam bentuk negara atau kelompok atau individu) dapat dikenai tindakan boikot karena perilaku yang dianggap tidak sesuai dengan etika internasional yang berlaku para suatu masa atau kurun waktu tertentu.
Perilaku tidak etis ditetapkan secara internasional melalui sebuah konsensus bersama di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau sepihak oleh negara tertentu, misalnya Amerika Serikat (AS).
Etika itu misalnya seperti demokrasi, hak azasi manusia (HAM), dan penghormatan pada nilai-nilai kemanusiaan secara umum. Negara atau kelompok-kelompok yang diskriminatif, menggunakan kekerasan fisik/bersenjata, melakukan kudeta militer, mempraktekkan radikalisme, dan seterusnya dianggap bertentangan dengan etika internasional itu.
Negara yang diboikot atau di-cancel biasanya menghadapi berbagai macam dampak tak terduga. Konsekuensi itu, misalnya antara lain: tidak ada pengakuan internasional, berkurang/hilangnya kepercayaan publik, negara atau kelompok itu dikucilkan, dihina, dan dipandang rendah oleh negara lain.
Meskipun demikian, negara-negara yang diboikot tetap selalu dimonitor perkembangannya. Sejauh mana berbagai isu berkaitan etika atau norma-norma internasional itu dijalankan atau tetap dilanggar oleh negara yang diboikot itu. Korea Utara dan Myanmar dapat menjadi contohnya.
Dalam konteks hubungan antar-negara, maka aksi cancel culture atau perilaku penolakan atau boikot dapat berlangsung di antara berbagai negara atau aktor non-negara. Berdasarkan perkembangan internasional, fenomena cancellation atau pemboikotan ini dapat dibedakan menjadi beberapa jenis.
1. Berdasarkan negara atau obyek yang dikenai, maka boikot dapat bersifat individual dan kolektif. Negara yang dikenai atau menjadi korban boikot bisa satu atau beberapa negara. Myanmar dan Afghanistan menjadi contoh paling kontemporer dari jenis boikot ini.
Kudeta kelompok militer di Myanmar dan penguasaan kelompok radikal Taliban di Afghanistan menyebabkan banyak negara memboikot. Pemerintahan baru di kedua negara tidak segera mendapat pengakuan dari negara lain.