Gegara rangkap tugas, maka Association of South East Asian Nations atau ASEAN menjadi tertatih-tatih. Sebagai satu-satunya organisasi regional antar-pemerintan di kawasan Asia Tenggara, ASEAN menghadapi banyak rangkap tugas. Repotnya lagi, sebagian besar rangkap tugas itu merupakan pekerjaan rumah (PR) yang belum selesai.
Hingga ASEAN berulang tahun ke-54 pada 8 Agustus yang lalu, organisasi ini setidaknya dihadapkan pada tiga rangkap tugas. Ketiga tugas itu meliputi konflik klaim di Laut China Selatan (LCS), masalah penanganan pandemi/vaksin Covid-19, dan krisis politik di Myanmar.
Ketiga tugas itu bersifat pelik dan melibatkan persaingan di antara negara-negara besar di luar Asia Tenggara. Pertama, sifat pelik dari ketiganya berkaitan dengan perpecahan di antara ke-10 negara anggota ASEAN dan resiko perpecahan itu terhadap stabilitas organisasi regional. Perpecahan itu disebabkan oleh perbedaan dukungan ke-10 negara anggota ASEAN terhadap ketiga rangkap tugas itu.
Selain itu, perpecahan itu dikawatirkan menimbulkan resiko. Salah satu resiko terburuk dari perpecahan itu adalah bahwa ASEAN dihadapkan pada instabilitas regional. Pada kasus LCS, negara-negara seperti Singapura, Malaysia, Filipina, Brunei, Vietnam, dan Thailand mendukung AS dan, sebaliknya, menentang China. Sedangkan negara Laos, Kamboja, dan Myanmar berpihak ke China.
Konstelasi dukungan negara-negara anggota ASEAN ternyata berubah pada masalah penanganan pandemi dan krisis Myanmar. Di satu sisi, perbedaan sikap di satu kasus dengan kasus lain merupakan sesuatu yang wajar mengingat setiap negara memiliki kepentingan dan prioritas berbeda. Namun demikian, ASEAN menjadi kesulitan dalam menentukan sikap bersama.
Munculnya masalah eksternal, seperti LCS dan pandemi, seharusnya menghasilkan kohesivitas dan kolektivitas sikap/tindakan ASEAN, namun kenyataan justru berbeda. Kenyataan ini secara langsung mempersulit upaya kolektif ASEAN dalam menyelesaikan persoalan internal kawasan, yaitu krisis Myanmar.
Kedua, keterlibatan negara-negara besar (yaitu, persaingan pengaruh antara Amerika Serikat/AS dan China) menyebabkan ASEAN mengalami dilema. Tidak dapat disangkal bahwa kedua negara besar itu telah menanamkan pengaruh politik-ekonomi regional di sepuluh negara anggota ASEAN. China memiliki pengaruh sangat besar di negara-negara Kamboja, Laos, dan Myanmar. Walaupun Vietnam berani bersikap menantang China secara frontal, namun negara ini tetap secara tradisional tergantung secara sosial-ekonomi kepada China.
Akibat dari pengaruh China itu, maka keempat negara terakhir itu sangat mengharapkan bantuan China dalam penangangan Covid-19. Demikian juga dengan Indonesia dan Filipina yang memilih China sebagai pemasok vaksin Sinovac. Sementara itu, Singapura dan Malaysia cenderung memilih vaksin buatan AS, sehingga kedua negara itu relatif lebih lambat dalam memberikan vaksin kepada warganegaranya ketimbang Indonesia.
Kenyataan itu memperlihatkan secara jelas bahwa ASEAN kurang sigap dalam penanganan pandemi Covid-19. Para pengkritik ASEAN bahkan cenderung mengklaim bahwa ASEAN tidak melakukan apa-apa dalam mengelola ancaman kesehatan regional itu. ASEAN secara jelas menyerahkan upaya penanganan pandemi kepada negara-negara anggotanya, tanpa upaya membangun norma regional di bidang kesehatan.
Lebih lanjut, pertarungan AS dan China dalam memperebutkan dukungan di antara ke-10 negara anggota ASEN dianggap menimbulkan dua dilema yang menarik. Dilema pertama adalah persaingan itu menempatkan ASEAN sebagai korban. Ibarat dua gajah bertarung, ASEAN seolah adalah pelanduk yang berpotensi menjadi korban serangan Dari kedua kubu.