"Piye, enak jamanku to?" begitulah slogan untuk menjelaskan betapa mudah, murah, dan enaknya kehidupan di Indonesia di jaman dulu (jadul), khususnya di era Presiden Suharto. Ini bukan untuk melecehkan. Bukan pula menjelaskan aspek politik dari kehidupan anak kost di masa ototitarian Orde Baru.
Terlalu banyak cerita-cerita politik yang sebenarnya atau versi-versi tertentu. Bukan pula untuk membandingkannya dengan kehidupan sekarang yang serba susah, mahal, dan seterusnya. Apalagi, selanjutnya, membandingkan masa Suharto dengan masa Jokowi dalam konteks politik. Bukan itu.
Tulisan ini hanya ingin mengungkapkan sekelumit kenyataan pengalaman mengatur keuangan sebagai anak kost di tahun 1988-1993an di Yogyakarta. Demi berkontribusi pada topik pilihan di bulan Ramadhan ini, saya memerlukan menarik ingatan ke masa muda dulu.
Apalagi, mas Dab lagi uring-uringan. Tanpa sebab jelas, motornya si Pitung tetiba 'ngambek'. Akibatnya, dia menolak bercerita pengalaman jadulnya sebagai anak kost. Jadi ya terpaksa saya menuliskan pengalaman saya sendiri:)
Konteks besarnya adalah pertama, pertumbuhan ekonomi positif stabil seperti pandangan berbagai pengamat ekonom domestik semacam Iwan Jaya Azis dan Chatib Basri. Bahkan ekonom asing semacam Hal Hill, Milton Friedman atau Krugman juga memandang perekonomian Asia, termasuk Indonesia, sudah sesuai dengan rel ekonomi dunia.
Indonesia pun menyatakan siap mengikuti globalisasi. Dolar AS waktu itu di kisaran Rp 750 hingga Rp 1.000. Seingat saya, menjelang krisis ekonomi 1997 dolar AS naik ke angka Rp 1.250.
Kedua, pada saat itu semua serba satu, misalnya satu televisi nasional TVRI. Tidak ada handphone. Yang menjamur adalah telepon umum atau wartel alias warung telepon untuk sambungan interlokal atau internasional.
Internet belum ada, sehingga tidak ada gojek atau tokopedia dan semacamnya. Kebanyakan mahasiswa naik motor atau bis umum ke kampus. Yang naik sepeda pun tidak sedikit.
Hawa kota Yogyakarta masih lebih dingin. Jika beruntung, anak kost masih mendengar sayup-sayup suara kereta kuda lewat atau suara genderang prajurit kraton yang tidak ketemu wujudnya:)
Lalu, konteks kecilnya adalah uang saku saya satu bulan Rp 30.000. Ditambah uang bulanan kost sebanyak Rp 10.000. Jadi, pengeluaran 1 hari maksimal Rp 1.000 all-in buat makan 3 kali sehari, dll. Saya tidak tahu jumlah itu terlalu proletar atau malah terlalu borjuis. Begitulah aturan umum keuangan sebagai anak kost jadul hingga lulus kuliah bersama mas Dab. Suasana rumah kost adalah sebagian besar berpuasa. Jadi saya pun sering ikut-ikutan berpuasa demi mengatur keuangan yang se-level itu.
Saya ikut berpuasa sebagai hasil evaluasi pengalaman satu-dua tahun sebelumnya. Sebulan sepanjang bulan puasa, warung-warung tutup cepat, lalu buka lagi jam 4an sore. Masih banyak warung lain yang buka, tapi kebanyakan harus ke pinggir-pinggir jalan besar.