Tahun ini Brunei Darussalam menjadi ketua ASEAN setelah Vietnam. Untuk 2021, tema yang diangkat Brunei untuk ASEAN adalah "We Care, We Prepare, We Prosper." Melalui tema itu, Brunei berharap ASEAN dapat mendorong kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat ASEAN melalui berbagai inisiatif untuk mengantisipasi dampak dari pandemi Covid-19.
Seperti Vietnam pada tahun lalu, Brunei Darussalam menghadapi tantangan berat dalam menjalankan peran sebagai ketua ASEAN pada 2021 ini. Tantangan itu berhubungan erat dengan masalah pandemi dan dampaknya, Laut China Selatan, rivalitas geopolitik China dan Amerika Serikat, dan kemampuan ASEAN dalam menyelesaikan persoalannya sendiri (termasuk kudeta militer di Myanmar).
Brunei harus mampu menunjukkan bahwa ASEAN memegang posisi sentral dan netral dalam penyelesaian berbagai persoalan di kawasan Asia Tenggara. Sentralitas dan netralitas memang selalu menjadi slogan wajib yang harus diingat dan diterapkan oleh ke-10 negara anggota ASEAN.
Sejarah ASEAN tidak dapat dilepaskan dari perjuangannya untuk menegaskan eksistensinya. Ibarat manusia, ASEAN berusaha menunjukkan eksistensinya agar mendapatkan pengakuan atau legitimasi dari negara-negara anggotanya. Perjuangan untuk eksis dan hadir di kawasan Asia Tenggara itu juga yang telah membuatnya mendapat pengakuan dari berbagai negara di luar kawasan dan organisasi regional/internasional lain selama ini.
Di kawasan Asia Tenggara ini, ASEAN adalah satu-satunya organisasi regional. Tidak ada organisasi regional seperti ini di kawasan ini. Yang menarik adalah ternyata tidak ada juga organisasi semacam untuk memfasilitasi kerjasama di antara China, Jepang, dan Korea Selatan di kawasan Asia Timur. Akibatnya, banyak negara-negara lain merasa perlu bermitra dengan ASEAN. Dalam konteks inilah, peran ketua ASEAN menjadi sangat strategis untuk mengelola berbagai kerjasama dan konflik demi stabilitas kawasan dan sustainabilitas organisasi regional ini.
Faktor kepemimpinan
Sistem giliran dalam kepemimpinan ASEAN merupakan salah satu faktor penting yang membuat ASEAN mampu bertahan hingga sekarang. Seperti posisi Brunei pada tahun ini, ASEAN dipimpin secara bergantian atau bergiliran oleh para kepala negara dan/atau pemerintahan dari negara-negara anggota di ASEAN. Setiap tahun ASEAN memilih satu negara untuk memimpin, mempersiapkan, dan mengorganisasi konferensi tingkat tinggi (KTT) sebanyak 1-2 kali.
Dengan sistem ini, setiap tahun kepemimpinan ASEAN selalu berganti dari satu pimpinan ke pimpinan lain dari negara anggota ASEAN. Misalnya, KTT ke-33 ASEAN tahun 2018 dipimpin Singapura, KTT 2019 dipimpin Thailand, KTT ke-35 tahun 2020 yang lalu dipimpin Vietnam.
Faktor sistem kepemimpinan seperti ini, di satu sisi, menjadi salah satu kelebihan ASEAN. Yang menarik adalah bahwa sistem giliran kepemimpinan ASEAN itu juga tidak menimbulkan persoalan dengan eksistensinya dan keberlangsungannya hingga saat ini.
Namun demikian, di sisi lain, giliran kepemimpinan ini ternyata tidak selalu responsif terhadap persoalan yang muncul secara tiba-tiba, seperti krisis Myanmar pada saat ini. Brunei cenderung diam dan menunggu inisiatif negara-negara anggota lainnya untuk merespon krisis Myanmar.
Peran kepemimpinan untuk Menyelesaikan krisis Myanmar dalam mekanisme ASEAN justru muncul dari Indonesia ketimbang Brunei. Shuttle diplomacy Indonesia ke negara-negara anggota ASEAN dan China serta AS sebenarnya relatif berhasil.