Lihat ke Halaman Asli

Ludiro Madu

TERVERIFIKASI

Dosen

Ambyarnya Demokrasi dan Peluangnya di Myanmar

Diperbarui: 15 Maret 2021   18:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puluhan ribu orang berdemonstrasi menentang pengambilalihan militer di kota terbesar Myanmar Yangon dan menuntut pembebasan Aung San Suu Kyi, pada Minggu (7/2/2021). (Sumber: AP PHOTO via kompas.com)

Demokratisasi di Myanmar berjalan terseok-seok, bahkan dikhawatirkan telah ambyar. Upaya mengembalikan demokrasi seperti sebelum kudeta 1 Februari pun menjadi makin sulit dan kompleks. 

Meski begitu, optimisme tetap harus ditularkan kepada masyarakat dan pemerintah Myanmar agar tercapai penyelesaian damai. Dengan perdamaian di antara kedua pihak itu, demokratisasi diyakini lebih mudah dibangun di negeri itu.

Repotnya adalah kesepakatan demokratis itu telah hilang. Kelompok militer dan sipil (National League for Democracy/NLD) yang telah bekerjasama membangun demokrasi itu sejak 2010 telah berakhir secara tragis dengan kudeta militer. Kelompok militer mempertontonkan kekuasaan absolut dan dominatifnya. 

Pihak NLD, sebaliknya, seolah tidak berkutik. Tidak ada perlawanan atau penentangan keras dan terbuka dari politisi NLD dalam demonstrasi melawan militer. 

Yang terjadi adalah kelompok pembangkangan sipil melakukan demonstrasi di berbagai kota telah berlangsung hampir tiap hari setelah kudeta militer pada 1 Februari 2021. Hingga saat ini, kekerasan militer telah menimbulkan korban lebih dari 70 orang demonstran sipil. 

Suasana berbagai kota semakin mencekam. Pemerintahan militer yang berkuasa melakukan berbagai penangkapan terhadap banyak aktivis sipil. 

Sementara itu, militer juga tidak bergeming terhadap tuntutan pembebasan Aung San Suu Kyi dan para petinggi NLD. Informasi AS yang menggagalkan penarikan dana kelompok militer Myanmar di perbankan AS tidak membuat militer bergeming, namun justru makin keras menekan rakyatnya.

Tergantung pada NLD
Meskipun begitu, demonstrasi yang makin membesar itu sangat bergantung pada kekuatan partai politik NLD. Hingga sekarang, demonstrasi masyarakat sipil tidak berujung pada munculnya berbagai macam kelompok sipil yang berbasis di masyarakat atau kampus-kampus.

Selain itu, kelompok-kelompok sipil yang turun ke jalan belum menunjukkan kapabilitasnya dalam mendorong demokratisasi di jalur ekstra-parlementer. Belum ada upaya-upaya strategis dari kelompok sipil atau NLD untuk berbicara untuk mencapai kesepakatan tertentu di antara kedua kelompok itu.

Padahal, jalur parlementer tidak mungkin ditempuh untuk mewujudkan demokrasi pada saat ini. Parlemen Myanmar sebagai hasil pemilu 2020 telah dibubarkan kelompok militer pada kudeta 1 Februari yang lalu. Bahkan para politisi NLD di luar Daw Suu Kyi tidak terdengar suaranya.

Akibatnya, kelompok militer di bawah menjadi satu-satunya kelompok politik dominan di Myanmar. Setelah kudeta itu, Jenderal Min Aung Hlaing membentuk pemerintahan militer yang dipimpin oleh Wakil Presiden dari pemerintahan sebelumnya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline