Krisis Myanmar pada saat ini sedang menjadi sorotan negara-negara anggota ASEAN dan negara-negara besar mitra ASEAN. Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia, Retno Marsudi, sedang melakukan shuttle diplomasi atau diplomasi ulang-alik ke beberapa negara untuk memperoleh dukungan menyelenggarakan pertemuan menteri-menteri luar negeri se-ASEAN.
Diplomasi Indonesia itu merupakan kelanjutan dari hasil pertemuan antara Presiden Jokowi dan PM Malaysia Muhyiddin Yasin pada 5 Februari lalu. Mereka berinisiatif tentang perlunya pertemuan khusus antar-menteri luar negeri se-ASEAN untuk membahas kondisi di Myanmar.
Kedekatan antara Myanmar dan Indonesia telah membuat Myanmar memberi peluang kepada Indonesia untuk membantu penyelesaian krisis domestiknya. Salah satunya adalah krisis terkait etnis Rohingya di Myanmar. Yang terakhir adalah di tahun 2017-2018 ketika Indonesia 'memaksa' ASEAN memasukkan krisis itu sebagai agenda pada KTT di Filipina.
Tentang sejarah awal etnis Rohingya di Myanmar, perlakuan pemerintah Myanmar, kontroversi perilaku Daw Suu Kyi, dan tekanan internasional selama ini dapat dibaca di beberapa sumber lain.
Dalam diplomasi regionalnya, Indonesia telah berperan penting dalam berbagai krisis domestik di Myanmar. Peran Indonesia itu tentu saja mendapat 'lampu hijau' dari pemerintah Myanmar. Dalam penyelesaian krisis Rohingya 2017, diplomasi Indonesia dilakukan dalam kerangka mekanisme regional ASEAN dan bilateral.
Pertama, KTT ASEAN
Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-31 ASEAN di Filipina pada November 2017 merupakan bukti keseriusan Indonesia mendukung penyelesaian krisis. Inisiatif Indonesia memasukkan krisis Rohingya di Myanmar merupakan upaya mewujudkan sentralitas ASEAN. ASEAN sebagai satu-satunya organisasi regional di kawasan ini harus menjadi solusi dari berbagai masalah di Asia Tenggara. Jadi, ASEAN benar-benar diuji kapasitasnya dalam menyikapi isu krusial ini.
Walaupun KTT tersebut tidak memberikan hasil memuaskan pada perhatian ASEAN terhadap isu kemanusiaan bagi etnis Rohingya, namun setidaknya perilaku negara-negara anggota ASEAN sudah terbaca sejak sebelum KTT di Philippine International Convention Center (PICC), Manila.
Di satu sisi, anggota ASEAN secara individual enggan mengangkat isu Rohingya ke tingkat regional. Alasannya adalah kekhawatiran bahwa simpati kepada etnis Rohingya akan menimbulkan risiko pada prinsip non-interference ASEAN. Negara-negara anggota ASEAN khawatir simpati itu dianggap Myanmar sebagai upaya mencampuri urusan dalam negerinya.
Di sisi lain, negara-negara ASEAN cenderung lebih menerima pada upaya kemanusiaan Indonesia untuk menggalang dukungan pada etnis Rohingya. Bagi Myanmar, kecenderungan perilaku negara-negara ASEAN itu lebih bisa diterima mengingat kompleksitas isu itu di tingkat domestik negara itu, termasuk kontroversi terhadap posisi Aung San Suu Kyi sebagai penerima hadiah Nobel.
Bagi Indonesia, dukungan terhadap etnis Rohingya dapat dilakukan dengan menggalang kekuatan negara-negara ASEAN atau multilateral lainnya untuk bisa memberikan pressure (tekanan) individual dan regional terhadap Myanmar.
Sementara itu, pada sidang pleno KTT ASEAN (13/11/2017), Presiden Joko Widodo mendesak agar krisis kemanusiaan di negara bagian Rakhine, Myanmar segera diselesaikan. Harapannya adalah agar The ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on disaster management (AHA Centre) dapat diberikan akses secara penuh untuk dapat membantu.
Kedua, Formula 4+1
Desakan pemerintah Indonesia itu merupakan kelanjutan dari usulan formula 4+1 untuk mengatasi konflik kemanusiaan di Rakhine State. Sebelum KTT itu, Menlu Indonesia Retno L.P. Marsudi telah bertemu State Counsellor Daw Aung San Suu Kyi, di Myanmar Senin (4/9/2017).