Dalam hubungan internasional, negara menjadi salah satu aktor penting yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Walaupun jumlah dan jenis aktor dalam hubungan internasional telah bertambah dan beraneka-macam, posisi dan pengaruh aktor negera tetap sangat penting dan strategis. Dalam konteks ini, upaya memahami perilaku sebuah negara dalam hubungan internasional dalam dilakukan dengan melihat pada politik luar negeri (PLN) dari negara itu.
Salah satu yang menarik adalah PLN pemerintahan BJ. Habibie. Walaupun menjalankan pemerintahan dalam waktu singkat (16 bulan), pemerintahan Habibie telah meninggalkan warisan penting bagi politik luar negeri Indonesia.
Dalam politik luar negeri Indonesia, presiden merupakan salah satu aktor sentral. Bagi Indonesia pada awal reformasi, presiden bahkan merupakan satu-satunya aktor yang membentuk politik luar negeri dan menjalankan diplomasi Indonesia. Berdasarkan kondisi internasional dan domestik atau intermestik, presiden berperan penting dalam merumuskan dan mengarahkan peran aktif dan posisi Indonesia dalam hubungan internasional demi kepentingan nasional.
Tidak dapat disangkal bahwa Habibie menerima kekuasaan tertinggi dari Presiden Suharto dalam suasana transisi menuju demokrasi. Akibatnya, banyak yang menganggap Habibie sebagai kepanjangtanganan Suharto. Sebagai salah satu mantan menteri dan wakil presiden, Habibie juga dianggap merupakan salah satu representasi Orde Baru di era reformasi.
Krisis ekonomi 1998 telah menempatkan Indonesia dalam situasi yang sangat sulit dalam hubungan ekonomi internasional. BJ Habibie menerapkan kebebasan pers dan liberalisasi partai politik demi memulihkan kepercayaan dunia internasional terhadap pemerintah Indonesia. Selain itu, Habibie juga bekerja sama dengan organisasi multilateral, seperti CGI, IMF, Wrold Bank, ADB dan ILO untuk realisasi reformasi pembangunan ekonomi Indonesia. Habibie bekerja keras untuk mengembalikan kepercayaan investor asing terhadap iklim ekonomi domestik. Habibie pun terpaksa harus melakukan tarik-ulur terhadap IMF dalam beberapa kebijakan reformasi ekonomi nasional.
Meskipun demikian, Habibie mendorong pemerintahannya untuk tetap berinteraksi dengan berbagai negara. Di satu sisi, kondisi krisis ekonomi dan politik domestik seperti itu tidak memberikan keleluasaan bagi Habibie untuk mengelola politik luar negeri RI secara leluasa, khususnya dalam diplomasi di tingkat internasional. Di sisi lain, Habibie dan pemerintahannya harus memiliki caranya sendiri untuk menjalankan politik luar negeri Indonesia pada saat itu. Paling tidak, ada 4 isu penting yang bisa diangkat di sini.
Pertama, kemerdekaan Timor Timur sebagai isu paling kontroversial. Keputusan Presiden Habibie memberikan jajak pendapat berujung pada kemerdekaan Timor Timur. Pada 30 Agustus 1999, jajak pendapat dilakukan di bawah pengawasan United Nations Mission in East Timor (Unamet). Pada 4 September 1999, hasil dari jajak pendapat menunjukkan 78,5 persen menolak otonomi khusus yang diperluas atau menyetujui kemerdekaan Timor Timur. Walaupun menimbulkan polemik politik domestik di tengah krisis ekonomi, Indonesia justru memperoleh apresiasi tinggi dari dunia internasional pada saat itu.
Kedua, Habibie menyebut Singapura sebagai little red-dot sebagai responnya terhadap kritik mantan PM Lee Kuan Yew mengenai kemampuannya melakukan reformasi ekonomi. Dalam waktu kurang dari 2 tahun, Habibie terbukti sukses menaikkan nilai tukar rupiah dari Rp16.000 kembali turun hingga ke Rp6.500 terhadap dolas AS. Selain itu, pertumbuhan ekonomi RI juga berbalik positif pada 1999 dari sebelumnya minus 13 persen pada 1998.
Ketiga, kedekatannya dengan Jerman telah mendorong negara itu mendukung kebijakan reformasi ekonomi Habibie. Jerman menyelenggarakan salah satu pameran internasional terbesar di Jakarta ketika krisis ekonomi berlangsung. Pameran itu sebagai upaya Indonesia membangun citra bahwa kondisi ekonomi RI mulai membaik seiring dengan perbaikan nilai tukar rupiah dan pertumbuhan ekonomi.
Keempat, pemerintahan Habibie menunjuk tujuh (7) pengusaha besar atau konglomerat sebagai utusan khusus bidang ekonomi untuk kawasan-kawasan tertentu. Kebijakan ini menarik karena pemerintah tetap mengharapkan pengusaha-pengusaha itu dapat secara langsung berkontribusi pada reformasi ekonomi. Tujuannya adalah membangun kepercayaan negara-negara tertentu terhadap kepatuhan RI menjalankan reformasi ekonomi. Di tengah krisis ekonomi yang dialami para pengusaha (bahkan para pengusaha dianggap sebagai penyebab krisis itu), Habibie justru meminta mereka ikut memulihkan ekonomi Indonesia.
Pemerintahan Habibie yang singkat, sifatnya yang meneruskan pemerintahan sebelumnya, dan krisis ekonomi-politik yang berat memberikan konteks penting bagi politik luar negeri Indonesia pada saat itu. Keempat isu itu mewarnai jejak-jejak Habibie dalam PLN dan diplomasi RI di tengah krisis ganda di bidang ekonomi dan politik.
Kritik dan kontroversi akan selalu ada dalam setiap kebijakan pemerintah, termasuk PLNI Presiden Habibie dalam 4 isu itu. Namun demikian, selama 20 tahun ini kita telah menempatkan kebijakan-kebijakan itu sebagai warisan yang baik dari Habibie bagi PLNI dengan segala kelemahan dan kelebihannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H