Lihat ke Halaman Asli

Ludiro Madu

TERVERIFIKASI

Dosen

Worklife Balance Itu Tergantung Kita Sendiri

Diperbarui: 1 Februari 2021   13:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.123rf.com/

Pada dasarnya, kondisi worklife balance atau keseimbangan antara pekerjaan dengan kehidupan di luar kantor itu tergantung pada kita sendiri. Mengapa tergantung kita sendiri? Ya, karena kita sendiri yang merasakan secara langsung apakah kondisi work dan life itu seimbang.

Karena itu, keseimbangan itu bisa diatur. Kata mantan Wakil Presiden Adam Malik, semua itu bisa diatur. Bisa diatur ini bukan dalam pengertian menabrak atau melanggar aturan main. Bukan begitu. Maksudnya, semua itu bisa dibicarakan secara baik-baik sesuai dengan norma-norma kepantasan yang berlaku umum.

Dalam situasi itu, ada norma-norma bersama yang telah disepakati mengenai worklife balance itu. Selain itu, juga ada aturan main khusus yang berlaku pada saktu tertentu atau di tempat khusus atau dalam isu-isu tertentu saja, sedangkan dalam hal-hal lain tidak berlaku.

Selama itu tugas dari atasan masih dalam job description dan kita mampu mengerjakannya, saya pikir tidak masalah. Kalaupun kita ingin protes, mengeluh atau, bahkan, menolak, sebaiknya itu semua disampaikan secara baik-baik, dengan segala resiko-nya. Ya, dengan segala resikonya karena orang di luar melihat pemberian tugas itu, misalnya, tidak sesuai dengan norma umum. Ini termasuk tugas-tugas kantor yang diberikan di luar jam kerja atau di masa weekend atau pas liburan.

Selain itu, semua itu tetap pada situasi sejauh mana kita memaknai pekerjaan itu. Jika pekerjaan itu memang penting bagi hajat hidup kita, maka kita tidak memiliki jalan lain, kecuali mengerjakannya. Namun, seandainya pekerjaan itu bukan yang utama —-misalnya memiliki lebih dari satu pekerjaan—- maka pertimbangan khusus bisa diberlakukan. Dengan cara itu, beban pekerjaan ---termasuk yang tidak umum--- tidak akan mengganggu kehidupan keluarga kita di rumah.

Cara lain agar tercipta worklife balance adalah semua pekerjaan diselesaikan di kantor, tanpa membawanya ke rumah. Yang di kantor tetap di sana, yang di rumah tetap pula di tempatnya. Kalau dicampur-campur malah membuat bingung dan, akhirnya, merepotkan kita sendiri. Akibatnya terjadilah yang namanya work-life imbalance.

Pengalaman saya sebagai pengajar di sebuah perguruan tinggi (PT) kurang-lebihnya seperti itu. Ada jam kerja ketika kita harus masuk kantor dari pagi hingga sore. Walau masih menjadi perdebatan hingga sekarang tentang perlu tidaknya jam kerja bagi dosen, semua tergantung pada kita sendiri. Sekali lagi, dengan segala resiko-nya, baik pemotongan tunjangan atau sanksi administratif lainnya. Yang terjadi adalah sebagian besar mengikuti aturan itu, walau dengan nyinyiran dan lain-lain:)

Para pengkritik jam kerja tetap biasanya mengatakan bahwa dosen juga bekerja di malam hari di rumah, seperti membaca, menulis dan seterusnya. Semua itu tidak bisa dilakukan pada jam kantor karena sibuk mengajar dan melayani mahasiswa. Akibatnya beberapa pekerjaan kantor harus dibawa pulang.

Di pihak lain, pendukung jam kerja biasanya menyatakan semua pekerjaan dilakukan di kantor dari jam 08.00-16.00. Mengajar, membimbing, membaca, menulis, dan lain-lain dilakukan pada rentang waktu jam kerja itu. Ketika ada dosen yang membawa pekerjaan ke rumah, maka hal itu merupakan pilihan yang bersangkutan, termasuk segala konsekuensinya.

Worklife Balance menuntut kita disiplin. Pengalaman berkunjung ke beberapa negara dan bertemu rekan-rekan dosen di sana menunjukkan praktek itu dengan baik. Di sana, semua pekerjaaan dikerjakan dan diselesaikan di kantor, seperti pendukung jam kerja itu. Jika masih ada pekerjaan, maka pekerjaan tetap dikerjakan di kantor dengan resiko pulang malam hari. Walaupun itu tidak tiap hari, namun ada kejelasan bahwa mereka tidak mau diganggu urusan kantor pada saat di rumah atau libur.

Terakhir, ada konsep self-rewarding. Orang mengerjakan sebuah tugas secara serius. Ketika pekerjaan selesai, orang itu akan ke kafe atau ke mal untuk membeli sesuatu yang diinginkan sebagai hadiah bagi dirinya sendiri. Menurut saya, self-rewarding merupakan sebuah bentuk dari worklife balance juga. Orang tidak perlu menunggu hingga akhir bulan ketika gajian atau akhir minggu, namun bisa mengatur sendiri waktu yang tepat untuk memberikan apresiasi kepada diri sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline