Diary kuliah hari ke-10.
Selamat sore,
Saya lanjutkan bahasan tentang diplomasi ya, khususnya diplomasi virtual. Pertanyaan sederhana yang muncul: Bagaimana pengaruh pandemi terhadap diplomasi? Apa saja persoalan dan tantangannya? Saya coba membahas perkembangan umum, lalu mengarah ke praktek diplomasi virtual Indonesia. Serba singkat dan melompat-lompat, namun dengan harapan semoga catatan kuliah ini mudah dipahami.
###
Dinamika Diplomasi
Pandemi Covid-19 telah secara jelas mengguncang dan mempercepat perubahan sistem dan praktek diplomasi. Diplomasi yang biasanya ditandai dengan pertemuan antar-delegasi perwakilan negara di sidang atau forum perundingan bilateral, regional, dan multilateral terpaksa mandeg, berhenti. Para diplomat yang biasanya terbang ke sana kemari lintas-negara pun terpaksa grounded. Jangankan seorang diplomat, menteri luar negeri dan, bahkan, presiden atau perdana menteri pun tidak bisa saling bertemu secara langsung di sebuah konperensi tingkat tinggi (KTT) demi menangani pandemi Covid-19.
Para diplomat dipaksa menyesuaikan diri agar diplomasi antar-negara tetap berjalan lancar demi mencari solusi atas berbagai dampak dari pandemi. Salah satu solusinya adalah menjalankan diplomasi melalui jalur virtual atau digital. Bahasa kerennya adalah virtual atau digital diplomacy.
Pandemi telah memaksa praktek diplomasi dijalankan secara virtual melalui video conference. Aplikasi zoom dan lain-lain digunakan dalam berbagai perundingan antar-negara. Dominasi pemakaian zoom dalam diplomasi memunculkan istilah 'zoom-plomacy'. Berbagai pertemuan bilateral, regional (ASEAN, Uni Eropa), multilateral (WHO, PBB) diadakan secara virtual.
Di ranah akademis, ada perdebatan tentang kedua konsep itu apakah dianggap sama atau beda. Perdebatan juga terkait dengan maknanya. Di diary ini, saya anggap virtual dan digital diplomacy itu sama ya. Kedua konsep akan saya pakai bergantian. Keduanya memiliki arti, yaitu digitalisasi atau virtualisasi sistem dan praktek diplomasi yang sebelumnya offline menjadi online. Ada konversi hampir semua sistem atau praktek diplomasi yang semula bersifat langsung (tatap muka) menjadi tidak langsung (tatap layar).
Akibatnya, para diplomat menghadapi banyak tantangan, meliputi: akses ke teknologi yang memadai, pembentukan kembali protokol komunikasi, dan kemampuan menjalankan diplomasi secara virtual. Penyesuaian ini sebenarnya tidak bermasalah karena para diplomat telah terbiasa melakukannya secara personal. Namun demikian, konversi ini merupakan tantangan baru bagi diplomasi dan diplomatnya.
Selain itu, pandemi Covid-19 ini telah memaksa para diplomat untuk mengaitkan isu-isu kesehatan global dengan politik luar negeri. Kebetulan Indonesia menjadi Ketua forum Global Health and Foreign Policy pada 2020 di bawah koordinasi WHO.
Dengan pandemi ini, para diplomat dituntut untuk memahami berbagai isu kesehatan yang kemudian dikaitkan dengan upaya-upaya negara merespon pandemi. Pemahaman ini yang mengarahkan pada peran strategis Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dalam mengeluarkan kebijakan berbasis kepentingan nasional, seperti menutup pintu-pintu internasional.