Sejak 2 minggu yang lalu atau tepatnya 28 Oktober, saya mulai menulis puisi di Kompasiana. Bagi saya, ini merupakan sesuatu yang sangat baru dan tidak terduga. Sangat baru dan untuk pertama kalinya setelah sekian puluh tahun, saya menulis puisi lagi. Entah kapan saya berpuisi untuk terakhir kalinya.
Sependek ingatan saya, alasan praktis menjadi penyebab utama saya malas atau tidak tertarik menulis dan, bahkan, membaca puisi. Selama ini, saya menganggap membaca dan menulis puisi memerlukan waktu lebih lama untuk memahaminya. Bahkan lebih lama membaca 1-2 puisi ketimbang 10-15 halaman bacaan akademis di bidang kerja saya.
Apalagi saya merasa bahwa membaca dan menulis puisi perlu melibatkan perasaan. Seingat saya, menulis puisi sangat beda dengan menulis esai umumnya. Menulis puisi harus memilih kata, ada aturan khusus, ada rasa pada pilihan kata. Perasaan ini yang tidak diperlukan ketika membaca atau menulis opini, misalnya.
Selain itu, menulis puisi ini merupakan sesuatu yang tidak terduga bahwa saya bisa menuliskan beberapa puisi selama 11 hari. Selama beberapa hari, saya malah ‘terjebak’ menulis 11 puisi dan menjadi ‘lupa’ menulis esai atau opini di Kompasiana. Ini seolah mengingkari tujuan awal saya menulis di Kompasiana. Istilahnya... ahistoris. Hingga saat ini, saya sudah menayangkan 20 puisi!!!
Sekarang, saya jadi berhati-hati mengingatkan diri saya sendiri supaya kembali ke tujuan awal memasuki Kompasiana ini, yaitu menulis esai tentang menulis atau artikel opini. Paling tidak, saya berkomitmen untuk tidak menayangkan puisi setiap hari. Ini berarti saya harus mengatur ritme menulis dan mengelola ide lebih baik lagi.
Selain itu, entah mengapa pula saya berani-beraninya menayangkan puisi-puisi pemula dan amatiran itu di Kompasiana ini. Apalagi puisi-puisi itu mendapatkan rating dari para dedengkot puisi di Kompasiana. Beberapa puisi bahkan malah memprovokasi Kompasioner memberikan komentar. Saya sangat berterimakasih atas semua ini.
Yang pasti, sebelum menayangkan puisi-puisi itu, saya melakukan beberapa 'ritual' khusus. Pertama, 'berpetualang' membaca puisi-puisi para Kompasianer selama beberapa hari. Setidaknya ada sekitar 10 Kompasianer pakar puisi harus saya kunjungi. Akhirnya saya harus meluangkan waktu khusus belajar menulis puisi. Pola belajar ini seolah sama dengan yang saya lakukan dulu ketika hendak ikut ujian tes TOEFL atau IELTS. Beberapa hari sebelum ujian, saya harus membaca koran berbahasa Inggris, selain materi terkait.
Ritual kedua, Kompasiana menjadi sumber utama belajar menulis puisi. Banyak sekali puisi bagus, bernas, dan sangat inspiratif. Tidak perlu keluar dari Kompasiana. Beberapa tulisan tentang cara jitu menulis puisi dengan contoh penulis puisi yang sudah terkenal pun saya favoritkan. Saya tidak perlu ke mesin pencari populer itu untuk mencari tahu tips and tricks menulis puisi.
Ritual ketiga adalah praktek langsung menulis puisi. Seperti ketika menulis esai, saya langsung saja menulis puisi yang saya inginkan tanpa ribet soal teori khusus menulis puisi. Sambil tetap konsisten membaca puisi-puisi di Kompasiana.
Semua sudah ada di Kompasiana! Buktinya adalah puisi pertama saya 'Sumpah! Pemuda itu...' terinspirasi oleh topik pilihan Kompasiana dalam rangka hari Sumpah Pemuda. Sebuah kebetulan, muncul topik pilihan itu setelah berkelana membaca puisi-puisi Kompasiana selama beberapa hari.
Akhirnya, tulisan ini tidak bermaksud lebay, pencitraan, apalagi bersombong diri. Tidak sekalipun terlintas di pikiran saya soal itu. Melalui tulisan ini, saya justru ingin menyampaikan terima kasih banyak kepada Kompasiana dan para Kompasianer yang telah membantu saya bisa menulis puisi-puisi itu. Puisi-puisi dan tulisan-tulisan tentang cara menulis puisi di Kompasiana benar-benar telah memberi saya motivasi mencoba sesuatu yang baru dalam kegiatan menulis saya.