Salah satu masalah sepele ketika berada di kelas online alias sedang ber-zoom dengan mahasiswa adalah ketika dosen merasa 'sendirian' di kelas? Atau ketika muncul pertanyaan sebaliknya: apakah mahasiswa masih 'bersama' dosen selama kuliah online? Kelas-kelas online biasanya memakai aplikasi video conference zoom, berlangsung minimal 40 menit (non-premium alias gratisan dan bisa diperpanjang), dan biasanya mahasiswa off camera/video demi hemat kuota internet. Isu terakhir ini yang seringkali membuat kelas online berbeda rasanya ketimbang yg offline.
Sekali lagi, ini masalah sepele. Sepele karena sudah menjadi pembicaraan di awal kuliah. Sejak awal kuliah, ada kesepakatan tentang on/off camera ini antara dosen dan mahasiswa. Misalnya kesepakatan on camera berlangsung selama 10 menit di awal dan akhir kuliah. Di luar kurun waktu itu, mahasiswa off camera. Bahkan dosen juga bisa saja off video ketika perkuliahan berlangsung verbal saja tanpa materi presentasi.
Meski begitu, buat saya, masalah ini tetap menarik menjadi ide untuk menulis di Kompasiana ini.
Perubahan dari kuliah tatap muka ke tatap layar menuntut penyesuaian. Banyak orang merasa tidak nyaman semua orang dengan perubahan itu. Bukan hanya mahasiswa atau peserta didik yang harus menyesuaikan, dosen atau pengajar juga harus menyesuaikan diri.
Dan itu susah, apalagi bagi mereka yang berusia 50 tahun ke atas dan tidak terbiasa dengan sistem online. Situasi itu bahkan berubah menjadi tuduhan, seperti karena malas, tidak mau, tidak tahu caranya, tidak bisa, atau memang menolak menyesuaikan diri. Ada banyak alasan dan itu bukan persoalan sederhana.
Kuliah online memang merupakan sesuatu yang baru bagi banyak orang. Ini bukan sekedar persoalan mengubah cara mengajar saja. Dari tatap muka secara langsung menjadi tatap layar. Tidak cuma mengubah tempat mengajar dari kelas ke zoom. Lalu, dari materi kuliah yang fotokopian atau cetak menjadi softcopy, dan seterusnya.
Kegiatan tatap layar memang dilakukan secara langsung, namun dengan nuansa berbeda.
Kuliah online menimbulkan banyak hal baru di antara dosen dan mahasiswa. Bagi saya pribadi, saya menjadi seolah tidak punya kemampuan 'mengontrol' secara langsung perilaku mahasiswa ketika berada di 'kelas'. Tatap layar membuat sulit melakukan kontak mata secara langsung ke mahasiswa, misalnya. Padahal di kelas konvensional, kontak mata memberikan banyak manfaat. Misalnya: dosen bisa 'tahu' mahasiswa memperhatikan penjelasan dosen, memahami isu yang dibicarakan, perlu atau tidaknya dosen mengulang sebuah isu karena merasa mahasiswa belum paham, dll.
Kehadiran mahasiswa di kelas online menjadi absurb. Ini seabsurb jaman globalisasi sekarang yang masih mempersoalkan tempat atau lokasi ketika kita menelepon seseorang yang kita kenal. Di kuliah online memang bisa dilihat dari video. Namun atas nama mengurangi beban kuota, maka video mahasiswa (dan bahkan) dosen terpaksa dimatikan.
Jadi setidaknya ada 2 masalah muncul. Pertama, kelas sebagai tempat kuliah di kampus menjadi di mana saja. Definisi kelas seolah-olah menjadi liar. Bisa di ruang kerja dosen, di salah satu kamar di rumah, di kamar kost sendiri atau teman, atau di tempat publik (seperti mall), atau bahkan di mobil.
Kedua, masalah bahwa kuliah online lewat cara video conference dengan memakai aplikasi zoom menjadi tidak sesuai dengan maksud utama kuliah online. Akhirnya, yang terjadi seperti siaran radio atau semacam mendengarkan siaran langsung (real time) Podcast. Lalu, buat apa pakai zoom? Apakah harus video conference? Bisakah kita gunakan aplikasi lain yang non-video? Atau aplikasi dan cara campuran? Tentu saja bisa. Ada banyak aplikasi menawarkan pilihan cara dan fungsi beraneka ragam.