Lihat ke Halaman Asli

Ludiro Madu

TERVERIFIKASI

Dosen

Seribu Alasan untuk Tidak Menulis

Diperbarui: 26 September 2020   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

bincangsyariah.com

Ketika selesai menulis ini, saya merasa heran sendiri. Mengapa menulis tentang terlalu banyaknya alasan untuk tidak menulis di blog Kompasiana ini. Bukannya ini salah 'kamar' ya? 

Namun demikian, saya tetap merasa perlu menulis hal ini sebagai sebuah usaha untuk memahami pihak-pihak yang tidak mau menulis. Saya mulai dengan beberapa pertanyaan.

Mengapa harus capek-capek menulis? Apa dunia bakal runtuh gara-gara tidak menulis? Bukannya tidak menulis itu juga tidak apa-apa? Berbagai macam pertanyaan bisa diungkap di sini dari yang sederhana hingga yang canggih.  

Tulisan ini memakai kata 'seribu' mengikuti cara sebuah bangunan tua di kota Semarang dinamai Lawang Sewu. Karena terlalu banyaknya jumlah pintu, konon dipakailah kata 'sewu' yang artinya seribu.

Begitu pula untuk tulisan ini hanya menuliskan beberapa jawaban sederhana dari pertanyaan-pertanyaan yang tampaknya sederhana itu. Saya minta maaf tidak bisa menuliskan seribu alasan itu secara harafiah.

Dari seribu alasan tidak menulis itu, saya coba membaginya menjadi tiga kelompok alasan saja. Ketiga kelompok ini setidaknya mewakili sebagian besar alasan yang ada.

Tidak ada survei atau data yang saya pakai untuk membuat dan menentukan pengelompokan itu. Ini hanya cara mudahnya untuk menempatkan banyak alasan yang senada ke dalam satu keranjang yang sama.

Kelompok pertama adalah alasan ideal, yaitu ketiadaan motivasi atau nir-gairah untuk menulis. Ini termasuk alasan paling berat. Bagaimana mungkin mau menulis tanpa ada motivasi. Bila dicoba dirunut, ketiadaan atau kurangnya kemauan menulis ini bisa berasal dari dalam diri individu itu.

Alasan kedua memandang menulis itu sebagai sebuah kemewahan. Ada banyak orang yang menganggap menulis itu sesuatu yang mewah. Banyak yang tidak punya waktu untuk menulis. Seolah menulis itu harus dilakukan pada waktu-waktu khusus dan di waktu-waktu lainnya tidak pantas dipakai untuk menulis. Masih soal waktu, seolah menulis itu menyita waktu kegiatan lainnya.

Daripada menulis lebih baik mengerjakan yang lain. Apalagi sekarang semakin banyak orang menulis di hape malah memunculkan anggapan mainan hape. Orang cenderung tidak sadar memakai lebih banyak waktu untuk 'bermain' sosial media.

Kabarnya, orang Indonesia bercengkerama dengan sosial media selama sekitar 3 jam setiap hari. Saya belum tahu rinciannya apa saja yang dilakukan dengan sosial media selama itu. Semoga itu termasuk menulis, walaupun dalam porsi minimal.    

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline