Lihat ke Halaman Asli

Ludiro Madu

TERVERIFIKASI

Dosen

Susahnya Menulis tentang Chelsea FC

Diperbarui: 24 September 2020   00:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixelstalk.net

Sampai tulisan ini jadi, saya merasa kesulitan menulis esai tentang klub sepakbola favorit saya. Seperti kawan-kawan Iainnya, saya juga penyuka sepak bola. Klub favorit saya di Liga Inggris adalah Chelsea FC (CFC).

Sebagai penyuka sepakbola, saya berada di tingkatan bawah. Berbeda dengan beberapa kawan, saya tidak terlalu ingat nama-nama pemain sepakbola, tidak rutin menonton Chelsea FC, tidak punya jersey-nya sebagai bukti loyalitas, tidak pula ikut nonton bareng.

Karena itu, saya juga bingung ketika ditanya mengapa suka CFC? Entah apa alasan saya memilih CFC waktu itu. Entah pula mengapa bukan memilih klub lain, seperti Manchester United, yang selalu menang dan sering menjadi juara pada kurun waktu tertentu. Atau menyukai klub dengan warna-warni jersey lainnya.

Saya tidak terlalu ingat soal ini. Mungkin saya terlalu lama menyukai Chelsea, sehingga lupa alasannya.

Kalau mau diingat-ingat, barangkali Gianluca Vialli dan Gianfranco Zola bisa menjadi penanda dari ingatan terjauh saya mulai menyukai CFC. Ternyata Roberto Di Matteo juga datang ke Chelsea di tahun yang sama. Kalau tidak salah, waktu itu menjadi awal masuknya pemain-pemain Italia ke liga Inggris yang dikenal dengan sebutan Italian Invasion. 

Dari informasi yang saya tahu, cara main bola pemain Italia yang beda secara ekstrim menjadi penghambat mereka merumput di Inggris. Gaya bertahan Grendel Italia tidak cocok untuk rumput lapangan Inggris yang lebih menyukai gaya main hit-and-run. Jadi, kedatangan ketiga pemain Italia itu menjadi sebuah perkecualian pada saat itu. Ini kalau tidak salah.

Kebetulan saja, model favoritisme saya ke CFC tidak lekang oleh jaman. Saya tetap menyukai the Blues sebagai julukan klub yang bermarkas di London Barat. Saya baru tahu klub ini ternyata sudah berdiri sejak 1905.

Walau menderita kekalahan beruntun, CFC tidak membuat saya malu. Saya juga tidak diam-diam beralih hati ke klub lain yang menangan dan langganan juara liga. Mahasiswa di kelas tahu saya penyuka Chelsea FC. Mereka sering menggoda saya ketika CFC kalah dan gantian saya yang menggoda mereka ketika CFC menang.

Ada memang teman yang menggadaikan loyalitas-nya ke klub lain. Demi mengikuti kata 'hati' seolah seperti politisi yang berpindah-pindah partai politik. Itu bahasa politik sepak bola.

Alasan praktisnya sebenarnya adalah: kalau klub sering kalah, acara nobar atau nonton bareng malah sepi. Cuan sedikit. Penjualan merchandise klub tidak balik modal. Ternyata ada bisnis di balik pilihan klub. Itu hak teman saya itu tentu saja. Buat saya, klub Chelsea memang tetap idaman.

Hal lain yang bisa menghubungkan saya dengan CFC adalah pemiliknya, Roman Abramovich. Abramovich adalah seorang oligark atau konglomerat asal Rusia yang membeli CFC pada 2003. Sebagai oligark terkaya pada 2007, dia adalah sedikit dari oligark yang setia kepada Presiden Vladimir Putin hingga sekarang. Loyalitas politik Abramovich membuatnya 'mudah' berbisnis ketimbang oligark lain yang bermain politik, seperti Boris Berezovsky.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline