Lihat ke Halaman Asli

Kopi Bukanlah Paksaan

Diperbarui: 1 Oktober 2016   12:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku mulai terbiasa dengan ruangan ini. Luasnya sih tidak seberapa, bahkan kamarku sepertinya lebih lega dari ruangan ini. Tapi itu tidak mengurangi minatku, malah tampaknya ruangan ini memberikan keleluasaan tanpa batas yang saat ini tengah kuperlukan. Di pantry ini aku bisa menyendiri sesuka hati.

Cangkir, gelas, piring, galon air, teh, gula, mie instan, wastafel, sendok, garpu, dan segala rupa yang berbau dapur adalah penghuni pasti tempat ini. Mungkin televisi 14 inch yang hinggap di pojok atas dinding jadi satu-satunya benda non-dapur yang diizinkan  untuk tinggal di pantry ini. Tiga office boy yang bermarkas di tempat ini selalu sibuk ketika jam makan siang hingga pantry pun sering tak berpenghuni pada waktu tersebut. Makanya kubilang di ruangan ini aku bisa menyendiri seenak mauku. Selain itu, ada hal lain yang menambah kesempurnaan pantry ini.

“Lagi sibuk enggak, Mang Kosim?” pria itu menampakkan dirinya lagi hari ini.

“Eh, Mas Yon,” Mang Kosim tersenyum menyambutnya. “Biasa lah, jam makan siang mah udah pasti sibuk. Kopi yang waktu masih ada, loh. Mau saya bikinin?”

“Sip!” Yonandar menepuk bahu OB itu.

“Dua gelas kopi siap meluncur, Mas.”

Yonandar mengancungkan ibu jari, salut dengan respon OB setengah baya itu. Kurasa di dalam otak Mang Kosim sudah tersimpan komando otomatis yang akan menggerakkan tangannya untuk segera meramu dua gelas kopi setiap kali Yonandar bertamu ke pantry di jam makan siang. Rinciannya, satu gelas untuk Yon dan segelas lagi-sayangnya-bukan untuk Mang Kosim. Itu untukku.

Aku mesti agak menunduk saat Yon menaruh sosoknya tepat di seberang penglihatan. Rasa-rasanya dia duduk seperti tanpa jarak padahal Yonandar ada di sisi lain meja bundar ini.

“Seneng deh gue kalau begini,” katanya sambil pamer senyum. “Punya partner ngopi harian kayak lu.”

Aku membalas dengan lidah terjulur.

Kalau tak salah hitung, hari ini sepertinya tepat dua minggu sejak aku dan Yon berbagi ruang di pantry ini sembari menguras waktu makan siang dengan secangkir kopi. Semua bermula saat aku memilih markas para pesuruh kantor ini sebagai tempat mengisolasi diri. Kalut akibat cinta yang tamat menuntun kakiku ke suatu tempat yang bisa memulihkan ruang-ruang hatiku yang berhamburan. Hingga akhirnya tanpa sadar aku terdampar di pantry kantorku. Apapun yang memanduku hingga sampai ke tempat ini tahu betul kemana langkahku harus diarahkan. Di pantry ini aku bisa menyendiri, meresapi ketenangan sembari perlahan mengeluarkan sisa-sisa uap patah hati ke udara bebas. Dan ketika hatiku sudah bersih kembali, rupanya aku tidak bisa begitu saja meninggalkan ruangan pantry ini. Makanya, jadilah pantry ini tempat wajibku untuk menghabiskan santapan siang sambil menikmati tayangan berita. Selain itu, ada satu hal lagi yang makin membuatku sulit mengabaikan ruangan ini. Satu hal itu sekarang sedang menatapku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline