Lihat ke Halaman Asli

Barang yang Tidak Ingin Dijual

Diperbarui: 25 Februari 2016   10:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jari-jari tanganku mengambang di udara, tertahan tanpa gerak layaknya membeku. Aku yang punya kuasa atas jari-jariku itu pun ikut membatu. Rasa-rasanya seluruh alat gerak di tubuhku sepakat untuk mogok bergerak. Kaku, bergeming, mematung.

Tidak ada yang mengutukku jadi batu atau pula Medusa datang menyapa dan menatapku. Sebab aku mendadak terpaku seperti patung taman begini karena aku tidak tahu apa yang harus kutulis.

Biar kuceritakan kronologinya. Beberapa saat ke belakang aku membuka laptop lalu menyambungkannya ke internet. Bukan media sosial, portal berita, atau pun situs pornografi yang kutuju, melainkan sebuah laman jual beli online. Iya, itu adalah sebuah pasar virtual dimana seseorang bisa memberitahu seisi dunia maya jika ada suatu barang yang ingin dia jual. Iya, aku ingin menjual sesuatu. Sebuah kalung, tepatnya.

Ini bukan pertama kali aku datang ke tempat macam itu. Di laman yang sama aku sudah menjual beberapa barang yang lain seperti ponsel, sepeda, sampai tas gunung. Semuanya berjalan lancar seperti yang kuharapkan, aku iklankan barangnya dan orang membelinya. Tapi entah ada apa dengan barang yang satu ini.

Dari detik pertama layar laptopku menyala aku merasa dibisiki untuk segera mematikannya. Saat internet sudah tersambung, bisikan itu datang lagi dan menyuruhku untuk menonton film saja daripada pergi ke dunia maya. Dan begitu aku sampai di laman jual beli online tersebut, bisikan itu semakin kuat menyuruhku untuk meninggalkannya.

Ada apa sebenarnya dengan barang ini?! Seingatku barang ini tidak kubeli di tempat yang banyak hantunya. Dan aku juga sangat yakin tidak pernah menyuruh siapapun untuk memasukkan mahluk tak kasat mata ke dalamnya. Tapi kenapa barang ini seakan tak mau menyerah menghembuskan hasutan-hasutan agar aku tidak menjualnya.

Ah, kurasa aku tahu. Ini bukan soal mahluk halus atau kekauatn gaib yang sedari tadi mencegahku. Ini pasti karena kenangannya.

Iya, kenangan.

Mungkin memori dan kesan yang tersimpan dalam kalung itu lah yang terus memintaku untuk tidak menjualnya. Kurasa memoriku ingin mengubahku jadi orang yang sentimentil, menjadi jenis manusia yang tidak begitu saja menelantarkan suatu materi yang banyak mengandung kenangan. Aduh, ini malah membangkitkan ingatanku.

Mataku sengaja kupejam, pikiranku memainkan ulang kisah lampau. Sekarang aku lihat diriku ketika berjalan mendekati sebuah toko perhiasan. Disana aku terkesan dengan kilau dan keindahan dari setiap perhiasan yang dipamerkan. Puas mataku dimanjakan oleh keelokan khas logam mulia, telunjukku kemudian mengarah pada sebuah kalung. Kulihat, kuraba, dan kuterawang kalung tersebut seolah untuk menaksir nilai dan keasliannya sama dengan menilai keaslian uang kertas. Tak lama akhirnya kalung itu resmi milikku.

Alur waktu dalam proyeksi kisah yang sedang kulihat kembali ini sengaja kumajukan sedikit. Aku putar lagi momen saat salah satu pegawai toko perhiasan tersebut mengajakku berbincang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline