Lihat ke Halaman Asli

Aku Ingin Marah-marah

Diperbarui: 14 Februari 2016   21:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jika boleh, pasti sudah kubanting piring ini dengan penuh kemurkaan. Akan kuhancurkan sampai pecahan terkecil. Sayang piringnya milik pihak katering.

Seandainya diizinkan, pasti sudah kulempar kursi yang sedang kududuki ini. Akan kuinjak-injak sekuat tenaga sampai bentuknya tidak lagi seperti kursi. Sayang kursinya adalah inventaris milik penyedia jasa hajatan.

Kalau begitu lebih baik aku berteriak saja sekencang-kencangnya hingga semua orang bisa dengar. Tapi pasti nanti orang-orang akan memanggilkan ustadz dan membacakan ayat-ayat suci di depan mukaku. Atau mungkin juga orang-orang akan menelepon ambulans dan mengirimku segera ke rumah sakit jiwa.

Ini salah, itu juga salah. Lalu bagaimana aku mesti meluapkan amarah ini!? Aku mau membebaskan geram yang terus mendobrak di balik dada tapi situasinya begitu tidak mendukungku. Aku ingin marah-marah tapi di saat yang sama aku juga mesti menjaga kelakukan. Sial sekali kekesalanku harus muncul di tempat dan waktu yang tidak bagus seperti ini. Akhirnya jalan yang bisa kuambil untuk memuaskan nafsu ini cuma menyelesaikan sepiring sajian prasmanan sambil memaki-maki dalam hati.

Bukan tanpa alasan aku ingin marah-marah. Ada sesuatu di acara pernikahan ini yang sudah membuat kekesalanku bangkit. Bukan soal makanan yang dihidangkan, cendera mata yang membosankan, atau tempat parkir yang sudah terlampau penuh. Yang bikin aku panas sejak tadi adalah seorang wanita. Aku marah karena detik ini dia ada di atas pelaminan. Bibirnya dia lengkungkan, berusaha menjadi orang dengan senyum terindah. Rautnya mengatakan jika dia bahagia raganya diabadikan jepretan kamera.

Apalagi kini sudah ada pria baik hati yang mendampinginya. Dari paras ayunya tak sedikit pun kutangkap kesan kalau aku pernah meramaikan ruang hatinya. Semuanya telah dia buang seolah tak ada toleransi untuk masa lalu. Lembaran-lembaran hidupnya sudah dibersihkan dari segala hal yang berbau diriku. Sekarang helai-helai kisah hidupnya akan dia tulis bersama pria yang telah menggantikanku. Ah, serius aku ingin marah-marah!

***

Hiburanku malam ini adalah pertandingan sepakbola. Meski bukan klub favoritku yang main, tapi setidaknya suara sorak penonton dan peluit wasit dari layar kaca bisa sejenak mengalihkan pikiranku dari amarah yang meluap siang tadi. Hingga kemudian sahabatku menelpon.

“Halo, Bro!” sahutnya bertenaga.

“Halo juga.” balasku datar. “Eh, gimana malam pertama, nih?”

“Yaelah baru juga jam sebelas. Panggung sama tenda aja belum kelar diberesin.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline