Lihat ke Halaman Asli

Revolusi Berulang

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sepasang mata biru milik pria itu tak sedikitpun berpindah dari memandang satu-satunya tempat bercahaya di dalam hutan itu. Pundaknya naik turun dan uap nafas terus mengepul dari mulutnya bagai lokomotif kereta uap. Mantel kelabu yang menutup tubuh maskulinnya berbaur sempurna dengan suramnya keadaan sekitar. Bahkan dia tidak perlu sampai menumpang di balik pohon untuk menyembunyikan wujudnya. Kalau saja tidak ada misi penting yang dipikulnya, malam ini dia tentu sudah berbaring di atas kursi malas sambil menikmati hawa hangat perapian. Jika saja tidak ada dosa yang harus dibayar tuntas, mana mungkin pria itu mau berdiam di dalam hutan pinus bertemankan kegelapan serta menusuknya angin malam musim gugur.

“Harus kulakukan malam ini juga.” pria bermata biru itu mengajak bicara dirinya sendiri. Matanya kini berpindah ke bawah, menatap pistol revolver enam peluru yang dipeluk erat telapak tangan kanannya.

“Tak kusangka dia mengkhianatiku. Tak kukira aku telah membantu seorang monster. Aku sudah termakan janji-janji manisnya, terlena oleh harapan akan perubahan. Tapi nyatanya, aku malah menggiring semua orang pada jurang yang lebih dalam dan gelap.” Mulutnya terus bergerak, meracau dan menumpahkan beban pikiran yang telah membawanya sampai hutan ini. “Kalau saja aku tahu akan begini jadinya, tak akan kubiarkan dia menunggangiku. Seandainya aku bisa kembali ke masa lalu, akan kusuruh diriku di masa itu untuk tidak pernah menemui orang ini.”

Satu tarikan panjang, udara malam yang tak ramah terhisap ke dalam hidung si pria bermata biru itu. Uap nafas kembali timbul saat dia perlahan menghembuskan udara dari mulutnya. Pria itu memejamkan matanya sejenak, mencoba mengumpulkan lebih banyak keberanian sekaligus memantapkan keyakinan jika hal yang akan dia lakukan sekarang adalah benar. Tak lama dua kelopak matanya itu terangkat. Dia sudah siap.

***

Langit berbalut hamparan awan kelabu. Hampir tak ada celah di atas sana hingga matahari pun kesulitan menusukkan sinarnya. Daratan bumi pun seperti sedang dilanda kesedihan. Sendunya pagi semakin lengkap dengan butiran-butiran putih yang tanpa henti berjatuhan dari langit. Tanah, pepohonan, dan atap-atap gedung mesti rela menampung butiran-putiran putih itu. Menumpuk, menumpuk, dan terus menumpuk hingga benda putih itu menutupi wujud benda yang dihinggapinya. Salju terus terjun dan berkuasa di tempat itu, menjadikan daratan ibukota menjadi hamparan selimut putih.

Sekilas, turunnya salju jadi satu-satunya hal yang bergerak di ibukota. Biarpun ini sudah musim dingin, manusia-manusia ibukota biasanya tidak pernah takluk oleh udara dingin atau lapisan salju yang menghiasi daratan mereka. Tapi ada yang berbeda hari ini. Di jalanan sama sekali tak tampak jejak ban mobil-mobil uap. Tapak kaki kuda dan roda keretanya pun ikut lenyap dari jangkauan penglihatan. Padahal, biasanya derap hewan itu sudah menggemakan jalanan bahkan sebelum matahari bangkit sepenuhnya dari cakrawala.

Di trotoar, lampu jalanan berjejer kesepian. Tak ada satupun manusia yang berjalan melewati mereka. Ratusan sosok yang biasanya berduyun-duyun di atas trotoar itu setiap pagi kini mendadak hilang bak ditelan bumi. Pintu-pintu rumah dan gedung  tertutup. Tak terlihat satu pun jendela yang terbuka. Semuanya seakan kompak menjadikan ibukota terlihat seperti kota mati.

Tetapi, pemandangan yang berlawanan memancar dari gedung presiden. Meski jalanan dan alun-alun di seberangnya ikut-ikutan sepi seperti pemakaman, setidaknya ada manusia hidup di sekitar tempat kediaman sang kepala negara itu. Uniknya, manusia-manusia itu memakai pakaian yang persis sama: seragam bernuansa cokelat, sepasang sepatu bot hitam, dan helm baja. Masing-masing dari mereka memegang senapan laras panjang, siap menumpahkan peluru jika badai yang akan datang hari ini berubah menjadi gelombang yang mengancam hidup kepala negara.

Badai yang dinanti sudah terasa kehadirannya. Dua ratus meter dari gedung presiden. Derap ratusan ribu pasang kaki bersepatu tebal menggetarkan jalanan yang bersalju. Sosok-sosok bermantel berjalan beriringan, melangkah tegas menuju tempat dimana sang kepala negara bermukim. Mereka berteriak, berorasi, menyuarakan dengan lantang kalimat-kalimat bernada perlawanan dan ketidakpuasan. Perasaan mereka tidak hanya dilukiskan dengan suara. Berpuluh-puluh spanduk dan papan bertuliskan kata-kata protes menemani langkah menuju gedung presiden. Berkali-kali kepalan tangan mereka bersamaan meninju udara. Mereka melakukan itu bukan semata-mata untuk mengurangi hawa dingin yang menusuk. Tangan terkepal adalah sebuah simbol perjuangan. Mereka datang berjuang untuk melawan. Melawan demi sebuah perubahan. Perubahan yang sudah lama dinanti. Dan bagi seorang pria bermata biru, momen ini sungguh membuat adrenalinnya terpacu. Bertahun-tahun usahanya untuk mengantarkan perubahan pada negerinya kini mendekati puncak. Dia bisa saja membiarkan wajahnya basah oleh air mata karena rasa haru yang meluap. Tapi dia berusaha menjaga wibawa. Saat-saat genting semacam ini seorang pemimpin pantang maju ke medan perang berderai air mata.

“Tuan Spielmann!” dengan nada tinggi pria bermata biru menyapa seseorang di sampingnya. Berada di tengah gelombang massa yang tidak berhenti berteriak membuat pria itu harus menaikkan volume suaranya. “Aku tidak melihat anda kemarin. Anda pergi kemana?”

“Apa?!”

“Kemarin Anda kemana?!” ulang si pria bermata biru dengan nada lebih tinggi.

Pria plontos yang disapa itu menurunkan kain yang menutup hidung dan mulutnya. “Maaf, Adrian. Kemarin aku harus mengurus sesuatu yang sangat penting. Tapi kau tak usah khawatir. Penggulingan hari ini akan berjalan mulus, semulus menarik sehelai rambut dari dalam tepung terigu.”

“Anda kelihatan yakin sekali, Tuan! Kuharap harapan kita semua akan terwujud hari ini!”

“Jangan sampai risau memakan semangatmu. Yakinlah kejayaan akan mendatangi kita!” rasa percaya diri yang tinggi sangat terasa dari ucapan Spielmann. “Bahkan jika pemimpin militer negeri ini mengarahkan senapannya padaku, aku yakin dia tidak akan berani menarik pelatuknya. Percayalah, aku akan membawa tanah kelahiranmu ini menuju masa depan yang lebih baik.”

Adrian masih menatap pria gundul itu. Heran dan kagum berpadu di dalam benaknya saat menyaksikan calon pemimpin baru negerinya itu melangkah berselimutkan keyakinan tinggi.

***

Dia bernama Adrian Brockenheimer. Dia berperawakan tinggi, tegap, dan punya tampilan kepala yang boleh dibilang sebagai bentuk ideal yang harus seorang laki-laki miliki: rambut pirang, dagu yang tegas, serta sepasang mata berwarna biru. Adrian sudah menikah. Dan untuk membuat mulut istri dan ketiga anaknya bisa terus mengunyah makanan, Adrian bekerja di sebuah pabrik pengolahan logam di tepian ibukota.

Adrian masih seorang pekerja kelas menengah sampai sebuah pemikiran besar nan gila tiba-tiba menabrak kepalanya. Pria itu mendadak mendambakan seorang kepala negara baru.

Bukan bisikan setan yang membuat Adrian menghasratkan adanya pergantian pemimpin. Bukan pula hasutan iblis yang mendorong minatnya untuk melakukan gerakan perubahan besar-besaran. Hati nurani dan pondasi idealismenya lah yang memantik semua itu. Sajian miris dari negeri tempatnya lahir ini membangunkan kobaran perubahan di dalam pikirannya. Kemiskinan, diskriminasi, hukum yang berat sebelah, hingga masalah-masalah lain yang jika didengar hanya akan membuat dahinya semakin berkerut.

Di saat Adrian matian-matian memeras keringat agar keluarganya tidak terpeleset jatuh melewati garis kemiskinan, kaum berada beserta kalangan pejabat malah tidak perlu menggerakkan otot-otot tubuhnya untuk mencari sesuap makanan. Di kala orang-orang yang berpakaian lusuh kesulitan mengais pendidikan serta pelayanan kesehatan, orang-orang berpangkat dan bersetelan rapi justru tinggal menjentikkan jari untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan tingkat tinggi. Saat seorang bocah pencuri roti mesti mendekam dalam suramnya bilik penjara, para penikmat uang rakyat bisa berjalan tenang dan leluasa menikmati udara bebas tanpa takut jeruji-jeruji besi akan mengungkung mereka.

Sekitar 13 tahun Adrian mesti menikmati kenyataan-kenyataan itu. Perasaannya pun makin tersayat dengan pemandangan yang dia dapat di sebuah musim dingin. Waktu itu, hampir setiap berangkat menuju tempat kerja, Adrian selalu saja mendapati orang meregang nyawa di pinggir jalan karena perut yang terlampau kosong dan pakaian yang kurang tebal untuk menandingi kerasnya udara musim dingin. Adrian tidak bisa menutup mata. Dia sering membayangkan jika orang-orang mati itu adalah istri dan anak-anaknya.

“Negeri ini harus direvolusi!” begitu kira-kira semangat perubahan yang Adrian inginkan. “Whitefold harus digulingkan!”

Benedict Whitefold, sang kepala negara yang sudah berkuasa selama 13 tahun itu Adrian jadikan sebagai kambing hitam atas kebobrokan negaranya. Adrian merasa kondisi mengenaskan negerinya adalah tanggung jawab sang presiden. Tapi, saat Adrian terus bersuara untuk melengserkan Whitefold, sang presiden malah berencana untuk mengamandemen konstitusi. Tujuannya tak lain agar bokong besarnya bisa terus duduk di kursi presiden. Adrian makin tersulut.

Perubahan adalah barang wajib yang harus segera dimiliki negeri ini, begitu pikir Adrian.

Beruntung niat suci Adrian direstui suratan. Dalam tempo dua tahun, pria bermata biru itu sukses menggalang dukungan. Dia mengumpulkan kaum-kaum senasib, mengajak siapapun yang merasa tertindas atas kepemimpinan Whitefold untuk bersatu padu menyelaraskan suara. Hasilnya? Siapa sangka dalam waktu sesingkat itu Adrian mampu menggiring pandangan jutaan orang ke dalam satu arah, sebuah arah menuju janji perubahan. Pertanyaannya besarnya, bagaimana bisa seorang pekerja biasa menyelaraskan jutaan kepala di negerinya untuk mendukung dirinya?

Jawabannya cukup sederhana: Adrian tidak bekerja sendiri. Ada orang lain. Mujurnya, orang lain itu rupanya memiliki kekuatan besar. Orang itu punya daya dahsyat yang tidak bisa dimiliki oleh seorang manusia papan bawah macam Adrian. Karenanya, pemikiran idealisme Adrian bisa dengan mudah menyebar luas ke seluruh penjuru negeri. Adrian mesti mengaturkan terima kasih kepada orang lain berkuasa besar itu. Adrian mesti bersujud di hadapan seorang pria gundul bernama Stokrauss Spielmann.

Stokrauss Spielmann sejatinya adalah seorang pemimpin partai oposisi terbesar di negerinya. Lazimnya pihak oposisi, Spielmann dan para pengikutnya menjalankan perannya dengan baik sebagai pihak yang berseberangan dengan sang penguasa. Mengkritik kebijakan-kebijakan Whitefold adalah makanan rutin bagi pria gundul berdagu tirus itu. Bahkan kader-kader Spielmann yang duduk di kursi parlemen juga meniru aksi pemimpinnya. Namun karena jumlah “anak buah” Spielmann kalah banyak dari penyokong Whitefold, maka setiap keberatan yang dilayangkan oposisi atas rancangan produk kebijakan Whitefold hampir tak pernah berbekas. Oposisi pimpinan Spielmann tak berdaya. Mereka bak singa ompong yang mati-matian ingin menyayat daging rusa. Spielmann jelas meradang. Sama seperti yang Adrian rasakan, pria 49 tahun itu juga makin terbakar emosinya begitu mendengar Whitefold berrencana mengamandemen konstitusi.

Dalam kegalauan itu, Spielmann menemukan Adrian.

Di satu hari di musim panas, Spielmann menyempatkan dirinya berkunjung ke kediaman Adrian. Saat itu pria gundul tersebut menyatakan kekagumannya atas usaha perubahan yang Adrian tegakkan. Spielmann mengaku tersentuh. Pertemuan itu lantas berujung pada sebuah jalinan kerja sama antara si pekerja dengan sang pemimpin oposisi. Adrian senang karena ada orang berpengaruh yang bergabung dengan gerakannya dan bibir Stokrauss Spielmann ikut melengkung karena menemukan jalan untuk menendang pantat Whitefold dari kursi presiden.

Kehadiran Spielmann lah yang membuat gerakan perubahan Adrian terus bertumbuh sepanjang waktu. Spielmann mendanai Adrian beserta orang-orangnya untuk berkelana ke seluruh pelosok negeri, menyaring massa sebanyak mungkin. Demonstrasi yang tadinya hanya melibatkan sekelompok kecil manusia, lambat laun semakin besar. Bahkan demonstasi juga ikut terbit di kota-kota lainnya. Gerakan perubahan Adrian bertumbuh pesat layaknya jamur di musim hujan.

Whitefold terusik. Sang presiden tidak menyangka seorang pekerja biasa mampu menghasut seluruh negeri untuk menentangnya. Sang presiden pun makin tergelitik kekesalannya begitu tahu siapa orang yang berperan dalam menyuburkan gerakan perlawanan itu. Whitefold tahu si gundul Spielmann lah dalangnya.

Sebagai orang yang merasa terancam, Whitefold mulai bertindak. Terlebih banyak aksi demontrasi yang lambat laun berujung pada tindakan barbar. Bentrokan, penjarahan, perusakan fasilitas-fasilitas pemerintahan, hingga penyerangan terhadap pihak keamanan mulai menjadi agenda yang tidak boleh dilewatkan oleh para pengikut Adrian Brockenheimer. Whitefold tak sudi duduk santai sambil melihat tanah kekuasannya diacak-acak para pemburu perubahan.

Whitefold tua pun bergegas. Dia menunjukkan pada para pengacau siapa bos yang sebenarnya. Dia memerintahkan penangkapan para pengikut Adrian dan Spielmann. Siapapun yang tertangkap akan dijebloskan ke dalam penjara tanpa proses pengadilan. Bahkan dia memerintahkan militer untuk menembak siapapun yang berusaha melawan saat akan ditangkap. Whitefold lantas mengarahkan pemburuan pada kedua otak gerakan perubahan, Adrian dan Spielmann.

Adrian beruntung memiliki orang seperti Spielmann di sampingnya. Saat keberadaannya mulai jadi barang haram di negerinya sendiri, Adrian diberikan tempat bersembunyi oleh Spielmann.

“Sampai saatnya tiba, kau tinggal saja di sini.” ujar Spielmann.

Adrian tidak terlalu mempedulikan ucapan sang pemimpin oposisi. Si pria bermata biru itu terlampau dihinggapi takut. Gurat gelisah dan kehilangan arah bercampur dalam raut Adrian. Pikirannya masih kacau. Bahkan Adrian bingung kenapa dirinya bisa ada di sebuah pondok di tengah hutan pinus. Yang terakhir dia ingat adalah dia dan Spielmann sedang berdiskusi di halaman belakang rumahnya saat sekelompok tentara mendobrak pintu dan mengobrak-abrik seisi rumah Adrian. Beruntung dia dan Spielmann bisa kabur. Beruntung pula jauh-jauh hari Adrian sudah menyuruh istri dan ketiga anaknya mengungsi ke rumah ibunya di pedesaan.

“Tak akan ada yang menemukan kita di sini.” Spielmann meraih bahu Adrian, menatap mantap si pria bermata biru.

Adrian hanya mengangguk. Dia perlu menit lebih banyak untuk mengembalikan ketenangannya.

Sambil terus mengajak bicara Adrian, Spielmann bergerak ke sudut lain pondok kayu pribadinya itu. Tubuhnya berhenti di depan kain hijau tua lebar yang tampak membungkus setumpukkan barang.

“Kita akan memakai ini pada puncak perjuangan kita, Tuan Brockheimer.”

Spielmann memegang salah satu ujung kain. Seperti seorang pesulap, dengan gerakan cepat Spielmann meyibak kain bedebu itu. Tampaklah apa yang tersembunyi di balik kain itu.

“Kau bercanda, kan, Tuan Spielmann?!” Adrian terperangah, seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Spielmann membalas dengan senyum kecil. “Sejak kapan aku bercanda?” katanya sembari membuang kain hijau tua itu ke lantai. Spielmann mengangkat satu benda dari tumpukkan itu. Dia memegang benda tersebut dan mulai berpose seperti tentara yang siap menembak musuh. “Semangat perubahan di dalam dadamu tidak cukup untuk menyingkirkan Whitefold. Tak peduli seberapa keras kau berteriak, para bajingan yang memegang negeri ini akan terus bergeming. Kita perlu sesuatu yang memaksa, sesuatu yang tak bisa di tawar-tawar. Biar kuberitahu, saat kata-kata tidak bisa mengubah sesorang, tak ada salahnya jika kita mulai bertindak dengan sedikit kekerasan. Makanya, kita perlu senjata-senjata api ini agar revolusi kita berhasil.”

***

Pagi di musim dingin itu mendadak ramai bagai festival rakyat di malam hari. Dentuman dan ledakan terdengar hampir di setiap sudut. Peluru-peluru tajam melesat dari dua arah. Erangan kesakitan dan teriakan yang menyayat telinga bersanding dengan letupan-letupan senapan laras panjang. Satu persatu jasad-jasad tanpa nyawa mulai berjatuhan. Putihnya salju yang menutupi halaman gedung presiden serta jalanan di depannya perlahan tercemar oleh noda hitam mesiu dan segarnya warna merah darah. Medan perang baru saja tercipta. Militer tidak menyangka para demonstran menyembunyikan senapan di balik mantel tebal mereka.

Ratusan ribu hidup manusia dipertaruhkan di pagi itu. Sebagian sudah menemui penciptanya. Pihak tentara maupun para pengikut Adrian bergiliran meninggalkan dunia fana begitu peluru menancap di dalam tubuh. Kisah hidup mereka berakhir saat panas dan gelombang kejut dari bahan peledak melontarkan dan memisahkan anggota-anggota tubuh mereka. Orang-orang malang itu harus menghentikan catatan hidupnya di dunia. Di satu sisi, mempertahankan keamanan menjadi kalimat penutup perjalanan hidup, sementara sisi yang lain mesti mengguratkan akhir cerita di dunia sebagai  pemberontak yang haus perubahan.

Adrian selangkah demi selangkah menembus rimba pertempuran. Dia tidak bisa berlari bebas lebih dari lima detik karena terhalang hujan peluru dan dentuman peledak. Bersama Spielmann, Adrian bergerak penuh kewaspadaan. Garis finish sudah dekat. Dia tidak mau perjuangannya berakhir oleh lesatan peluru tentara.

Menggunakan tubuh para pengikutnya yang rela dijadikan perisai hidup, Adrian terus melangkah maju. Sepasang pintu kayu besar kini tersaji dalam pandangan si pria bermata biru itu. Gelora semangat dalam dadanya pun membuncah dan menjadi terlalu penuh untuk ditampung. Adrian terus maju meski matanya memberitahu ada sepasukan tentara menjaga kesucian pintu besar itu. Namun kemudian, pasukan penjaga pintu tidak lagi jadi masalah saat granat-granat milik pemberontak mendarat ke arah mereka. Puluhan nyawa lenyap seketika beserta pintu kayu besar itu.

Adrian bersama Spielmann dan para pendukungnya masuk ke dalam gedung tempat presiden bekerja. Tapi mereka langsung di sambut tentara yang ditugaskan bersiaga di dalam gedung. Letusan-letusan senjata api mendadak mengisi atmosfer lantai dasar gedung presiden. Tembok yang berhiaskan ragam lukisan kompak berjatuhan, meninggalkan lubang-lubang bekas hantaman peluru sebagai hiasan baru di dinding gedung itu. Perabot kayu dan gelas menjerit, puing-puingya berserakan. Lantai gedung yang berkilau serta karpet-karpet raksasa yang membentang berubah menjadi alas bagi mayat-mayat segar. Kali ini pun, militer kembali tak berdaya. Ini memudahkan Adrian untuk menggeledah seisi gedung, mencari dimana buruannya bersembunyi.

***

“Apa..., apa yang terjadi di luar sana?”

Di dalam ruangan miskin cahaya itu, Whitefold disergap ketakutan. Meski ada seorang perwira bintang empat di sisinya dan sekelompok tentara yang menunggu di luar ruangan, sang presiden tidak bisa mendapatkan sedikitpun ketenangan. Dia terus diserang khawatir, takut jika para pemberontak menemukannya bersembunyi di dalam ruangan bawah tanah ini.

Ketakutan Whitefold itu pun rupanya berubah nyata.

“Kau semestinya menaruh lebih banyak orang untuk menjaga tempat ini, Whitefold!” suara Spielmann terdengar agak samar karena kain yang menutup hidung dan mulutnya.

Adrian dan Spielmann sukses melumpuhkan tentara penjaga dan berhasil menampakkan wujudnya di hadapan sang presiden. Sedikit lagi dan kepemimpinan akan beralih.

“Diam di sana!” perwira bintang empat yang terus menemani Whitefold di dalam ruangan persembunyian itu menaikkan pistolnya. “Ja-Jangan bergerak atau kutembak kau, Tuan Brockenheimer. Dan juga...., Spielmann.”

Whitefold bergidik melihat situasi yang berat sebelah ini. Dua orang penentang bersenapan lengkap hadir di depan mukanya sementara dirinya hanya terlindungi oleh pistol dari seorang jenderal yang mulai memasuki usia uzur. Whitefold semakin kehilangan harapan saat matanya menangkap aura ketakutan dari raut sang Jenderal. Bingung dan takut pun bercampur di dalam kepala Whitefold.

Bahkan Durkoff pun bergetar seperti melihat hantu. Habislah Aku! pikir Whitefold.

“Minggirlah, Jenderal Durkoff!” perintah Spielmann. “Biarkan Aku dan Adrian membalikkan kepemimpinan negeri ini.”

“Ti-tidak! Aku ini pemimpin militer negeri ini. Kalian jangan macam-macam!”

Spielmann mendekat tanpa risau seolah yakin jenderal berjanggut putih itu tidak akan menarik pelatuk pistolnya. Kini Spielmann hanya berjarak beberapa langkah dari targetnya. Sementara itu, ujung senapan Adrian mengarah lurus ke kepala Durkoff, berjaga-jaga jika sang jenderal meledakkan kepala Spielmann.

“Jenderal,” ucap Spielmann seraya menurunkan kain yang menutup separuh wajahnya. “Lebih baik kau khawatirkan tiga nyawa daripada satu di sampingmu sekarang.”

Durkoff terbelalak. Entah mantra macam apa yang terkandung di dalam kalimat yang di dengar sang jenderal, Durkoff kemudian perlahan menurunkan pistolnya.

Whitefold tidak percaya dengan pemandangan tersebut. Di dalam kepalanya sekarang berkecamuk tanya. Whitefold menuntut sebuah penjelasan kenapa orang tertinggi di militer bisa takluk oleh sepotong kalimat dari pemberontak berkepala plontos. Namun, sebelum menemukan jawabannya, kepala Whitefold lebih dulu menerima hal lain. Sebuah peluru panas. Malaikat maut sudah menjemputnya.

Setelah 13 tahun berkuasa, sang presiden pun jatuh untuk selamanya. Penggulingan menemui kata sukses. Revolusi berjalan seperti yang Adrian dan Spielmann harapkan.

***

Sore di tepi sebuah tebing, Adrian menatap hutan pinus yang terhampar luas bak permadani. Pikirannya sedang kacau hingga mata birunya itu tak bisa lepas dari barisan pinus di dasar tebing itu. Adrian sedang tidak memilih pohon yang harus ditebang untuk diambil kayunya. Pria itu juga tidak sedang mencari inspirasi untuk bahan puisi ataupun novel. Bertemankan desiran angin musim gugur, di tebing itu Adrian tengah merencanakan sebuah pembunuhan. Di dalam hutan pinus yang terus diterawanginya itulah Adrian akan melakukan aksinya. Adrian tahu sang target pasti nyaman bersembunyi di satu titik di antara kepungan pohon. Ironisnya, dulu sang target pernah membawa Adrian ke titik itu untuk memberikan perlindungan dari tangan-tangan militer yang ingin meringkus Adrian. Dan kini Adrian akan kembali ke tempat perlindungan itu. Bukan untuk menghilangkan keberadaan lagi, melainkan untuk mengambil nyawa seseorang.

“Spielmann bajingan.”

Adrian ingin berteriak namun dia tidak ingin amarahnya berkurang saat menemui buruannya malam nanti. Pria bermata biru itu ingin Spielmann menyaksikan murka dahsyat darinya sebelum kemudian menghunjamkan peluru ke dalam kepala sang presiden itu.

Adrian marah. Adrian geram. Adrian merasa dikhianati.

Sepuluh tahun Spielmann berkuasa, tak ada perubahan yang terjadi. Adrian justru merasa kondisi negaranya jadi lebih buruk dari sebelumnya. Tingkat pengangguran yang tinggi, diskriminasi yang semakin menjadi-jadi, pajak yang tidak masuk akal, menumbuhkan konflik dengan negara tetangga, korupsi, hukum yang tebang pilih, serta keburukan-keburukan lain yang mengikuti.

Adrian beberapa kali menemui Spielmann untuk membahas kondisi negaranya. Dia mengingatkan sang presiden soal janji masa depan cemerlang yang pernah ditawarkannya dulu. Adrian meminta Spielmann mengarahkan negerinya menuju cahaya, bukan malah membawanya terperosok lebih dalam ke dalam kegelapan.

“Kalau terus begini, perjuangan kita di masa lalu tidak ada artinya.” ucap Adrian saat terakhir kali dia menemui Spielmann.

Kekuasaan membawa manusia pada dosa, begitu kata orang bijak. Dan nampaknya Spielmann mengamalkan frasa itu dengan sempurna. Tak peduli berapa kali Adrian datang mengingatkannya, tuan presiden tak berrambut itu tak sedikitpun membiarkan nasihat Adrian masuk ke dalam telinganya. Bahkan Spielmann berbuat lebih jauh. Untuk mencegah tumbuhnya perlawanan dari rakyat, Spielmann melarang perkumpulan apapun. Jika ada sekelompok orang terlihat berkerumun di sudut jalan, pihak keamanan akan langsung menciduk mereka. Dengan kekuasannya, Spielmann juga memerintahkan penangkapan besar-besaran terhadap para pelaku penggulingan presiden Whitefold. Spielmann tak ingin ada sisa bibit pemberontakan dari masa lampau yang sewaktu-waktu bisa tumbuh lagi. Dia mengutus militer untuk menggeledah setiap rumah penduduk, mencari bekas pemberontak. Bagi yang tertangkap, dinginnya sel penjara sudah menunggu. Sementara bagi mereka yang berhasil lolos, hidup dalam pengasingan dan persembunyian menjadi satu-satunya opsi masuk akal untuk menikmati sisa umur. Termasuk Adrian.

Dalam persembunyiannya, tiada hari Adrian lewati tanpa meratap. Menyesal menjadi rutinitasnya. Dalam setiap renungan, Adrian memikirkan orang-orang yang meregang nyawa saat hari penggulingan Whitefold. Dia juga membayangkan wanita-wanita yang kehilangan suami serta anak-anak yang tidak lagi mempunyai ayah. Memori akan tubuh-tubuh berdarah yang menodai salju terus melayang di dalam pikirannya. Suara ketukan pintu pun jadi terdengar seperti dentuman senapan. Adrian jadi sulit tidur. Bahkan saat dia berhasil terlelap, mimpi buruk sering mendatanginya. Dalam mimpi tersebut, Adrian menyaksikan ribuan sosok mengerubingnya. Sosok-sosok itu semuanya berwajah pucat, bermandikan darah, dan berhiaskan luka tembak di tubuhnya. Mereka mengepung Adrian, meminta pertanggungjawaban. “Kami mati hanya untuk membuat negeri ini jadi tambah gila?! Kembalikan nyawa kami!!” teriakan mayat-mayat hidup dalam mimpi itu sering membuat Adrian langsung terjaga.

Adrian tidak tahan. Dia harus berbuat sesuatu terhadap Spielmann. Namun, karena kata-kata tak pernah memberikan reaksi, terpaksa peluru yang harus beraksi.

***

Dari celah sempit pintu belakang, Adrian mengintip isi pondok kayu itu. Gelap. Namun perabotan, kepala rusa di dinding, karpet bulu, dan benda-benda mati lainnya masih nampak cukup jelas di mata Adrian. Spielmann sendiri tak hadir dalam jangkauan pandangan. Tapi aroma minuman keras yang mengambang di udara meyakinkan Adrian jika si gundul keparat itu ada di tempat ini. Masih dengan langkah hati-hati, Adrian terus menjelajah pondok itu. Matanya bergerak lincah menyisir setiap jengkal pondok kayu itu. Adrian melanjutkan langkahnya. Sejenak kemudian, dia berhenti melangkah.

Adrian menyaksikan sebuah kursi goyang membelakanginya. Di depan perapian, kursi itu terus berayun menandakan ada manusia yang sedang mendudukinya. Namun karena punggung kursi itu terlampau tinggi, Adrian tidak bisa melihat sosok yang di balik kursi itu.

Revolver enam peluru itu diangkat, moncongnya menunjuk lurus ke depan. Adrian sudah siap mengeksekusi. Pria bermata biru itu berjalan mengitari kursi. Rasa penasaran mendorongnya untuk melihat wujud buruannya. Namun  alangkah terkejutnya Adrian begitu menyaksikan kursi goyang itu sama sekali tidak berpenghuni. Bahkan jantungnya hampir lepas saat sesuatu tiba-tiba menempel di kepalanya.

“Mencariku, Tuan Brockenheimer?” tegur sebuah suara. “Atau boleh kubilang..., Tuan Pemimpin Revolusi.”

Adrian mengenali betul suara itu. Dia bahkan tak perlu menoleh untuk mencari tahu rupa pemilik suara tersebut. Adrian sudah tahu bentuk wajahnya: mata cokelat, dagu runcing, dan kepala tanpa rambut.

“S-Spielmann?” takut yang hinggap mulai menganggu nada bicara Adrian. “Ku-Ku-Kurang ajar, kau.”

“Aku tahu kau akan kemari, Adrian. Tapi sayangnya, Aku selangkah lebih siap darimu.”

Adrian menelan ludah. Jantungnya berpacu liar begitu terdengar suara “klik” dari benda yang menodong kepalanya.

“Terima kasih sudah membuatku duduk di kursi presiden. Aku sangat menikmatinya. Tapi sayang kau tidak akan melihatku lagi esok hari,” ujar Spielmann. “Sekarang temuilah penciptamu.”

“Kurang ajar kau, Spielmann! Kau mengkhianatiku, kau mengkhianati janji-janjimu, kau mengkhianati negeri ini!”

“Diam dan tunggulah aku nanti di akhirat.”

Berikutnya, hanya bunyi letusan senapan yang terdengar. Suaranya sangat keras dan menggema di dalam pondok kayu itu. Heningnya malam pun terusik. Sesosok pria langsung tergeletak di dekat kursi goyang dekat perapian. Kepalanya belubang. Darah segar mengalir dan tumpah menodai lantai kayu. Sementara itu, pria lain di dekat mayat itu dilanda keterkejutan yang tak terkira. Matanya terbelalak memeloti pria mati yang terbaring di dekatnya. Jantungya berpacu gila, napasnya terputus-putus. Saking terkejutnya, untuk sesaat pria itu tidak bisa mengeluarkan suara apapun dari dalam mulutnya.

Di tengah kebingungan, si pria yang masih hidup itu mendengar bunyi langkah kaki. Hentakan sepatu bot di atas lantai kayu mengalun jelas bunyinya. Langkah itu makin mendekat. Si pria yang masih hidup sadar jika ada orang lain di dalam pondok. Sejurus kemudian, suara langkah kaki itu berhenti. Cahaya dari perapian mengungkap penampakan sosok yang baru muncul itu.

“Semuanya sudah selesai, Tuan Brockenheimer,” kata sosok itu.

“Je-Je-Je..,” Adrian gagap mendadak, “Jenderal Durkoff?!”

***

Adrian dan Durkoff berdiri tanpa bicara sambil menatap Spielmann yang terbujur kaku di atas lantai kayu. Meski sedikit terganggu dengan pemandangan mayat itu, kedua pria itu tak bisa memungkiri jika mayat tersebut telah melapangkan perasaan mereka.

“Harusnya kulakukan ini sepuluh tahun lalu.” Durkoff membuka percakapan. “Semestinya dia mati di ruang bawah tanah waktu itu.”

Ingatan Adrian terpantik. Ucapan Durkoff barusan membuatnya memutar kembali rekaman hidup. Dalam benaknya kini, Adrian menyaksikan proyeksi sebuah peristiwa yang terjadi sepuluh tahun lalu. Hari penggulingan, hari dimana nyawa seorang pemimpin direnggut oleh calon pemimpin berikutnya.

“Kenapa waktu itu Anda tidak menembak Spielmann, Jenderal?”

“Kau tidak tahu apapun, Tuan Brockheimer.” Durkoff yang bersuara parau menjawab seperti orang pasrah, seperti ada kesedihan di balik kata-katanya. “Dan kau tidak perlu memanggilku jenderal lagi. Aku berhenti dari militer tidak lama setelah Spielmann berkuasa.”

Menit-menit berikutnya, pondok kayu itu menjadi saksi bisu saat Jenderal Durkoff menyampaikan pengakuannya.

“Aku harus membunuhnya. Spielmann membawa negeri yang kucintai ini jadi lebih buruk. Dia lebih banyak membawa bencana daripada saat Whitefold masih berkuasa. Dia itu...,”

“Aku tahu itu, jenderal..., maksudku, Tuan Durkoff,” Adrian memotong. “Tapi aku belum mendapatkan penjelasan mengapa anda membiarkan Spielmann hidup sepuluh tahun lalu.”

Durkoff mendesah.

“Aku tidak menembaknya saat itu karena...,” ucapan sang jenderal terhenti sejenak. “Karena waktu itu Spielmann menculik keluargaku.”

Adrian tidak tahu berapa kali lagi dirinya harus terkejut malam ini. “Menculik keluarga anda?!”

“Iya. Spielmann tahu aku akan turun tangan untuk menjaga presiden hari itu. Makanya, sehari sebelum hari penggulingan, dia menculik keluargaku. Spielmann membawaku ke pondok ini, membiarkanku menyaksikan anak dan istriku duduk terikat dengan kepala ditutupi kain gelap.”

Kalimat Durkoff lagi-lagi tersendat. Sesaat pria tua itu melirik mayat Spielmann sebelum lanjut bercerita.

“Spielmann mengancamku, jika aku membunuhnya saat hari penggulingan, maka orang-orangnya akan segera mengeksekusi keluargaku. Bahkan sepanjang hari sebelum revolusimu itu, aku terus diawasi. Spielmann takut jika aku melaporkan penculikan itu atau aku mengirim anak buahku ke pondok ini.”

“Jadi, itu sebabnya anda tidak berani menembaknya?” tanya Adrian memastikan.

“Kau tidak ingat Spielmann pernah berkata soal mengkhawatirkan tiga nyawa?”

Adrian mengerutkan dahinya, mencoba menggali dalam data-data ingatannya. “Emm, kurasa aku ingat. Spielmann mengatakan itu saat di ruang bawah tanah, kan?”

Durkoff mengangguk.

“Lalu apa maksudnya itu? Apakah maksud tiga nyawa itu adalah aku, Spielmann, dan Anda?”

“Tidak.” jawab Durkoff cepat. “Tiga nyawa itu adalah istri dan kedua anakku.”

Durkoff menyambung ceritanya. Dalam hening malam, dia mengaku merasa bersalah telah membiarkan Spielmann berkuasa.

“Selama ini setiap kali aku melihat seorang anak mengais-ngais remahan roti di pinggir toko, aku merasa akulah penyebab buruknya nasib anak itu. Setiap kali aku makan malam dengan keluargaku, rasanya makanan yang melewati kerongkonganku ini sama sekali hambar. Saat kulihat wajah ceria anak-anakku dengan makanan layak di piringya, pikiranku tidak bisa menyingkirkan sosok anak pemulung remah roti itu. Kepalaku terus diusik oleh bayangan orang-orang yang tidak tahu apakah mereka masih bisa mengisi perutnya esok hari atau tidak. Aku merasa sangat berdosa pada negeri ini. Makanya malam ini kusarangkan peluru di kepala Spielmann untuk mengakhiri semua kekacauan ini.”

Adrian tidak sepenuhnya menyesal telah dua kali-meski secara tidak langsung- mengantarkan dua orang pemimpin kembali ke pangkuan penciptanya. Lagipula dua pemimpin itu sudah terjerat dalam bius kekuasaan. Bila dibiarkan, kerusakan akan bertumbuh subur. Adrian tahu jika tempat tergelap di neraka akan disediakan bagi mereka yang tidak bertindak saat terjadinya kerusakan yang mengancam.

Bahkan, jika keadaan memaksa, Adrian siap melakukan revolusi lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline