Lihat ke Halaman Asli

Sedikit Tentang Kita, dari Kacamata Mereka

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagaimana yang anda semua ketahui, saat ini, saya sedang berusaha menyelesaikan Studi Master saya di Taiwan (baca artikel: Kultur VS Religi). Dan apa yang saya dapat di sini selama studi tidak melulu hanya dari segi akademis saja. Alhamdulillah, kecerdasan emosi dan agama saya pun ikut bertambah. Saya memang pemula, tapi ada baiknya apa yang saya ketahui ini juga diketahui oleh orang lain. Merujuk pada pepatah “Pengalaman adalah guru yang berharga”. Jadi mudah-mudahan pengalaman saya ini bisa membuka sedikit wawasan bagi semuanya.

Kalau saya tidak belajar disini. Mungkin pandangan saya tentang kehidupan akan sangat sempit. Terutama pandangan saya tentang islam. Maklumlah, soal beragama, saya termasuk orang-orang yang di-”permudah” oleh Allah SWT. Mengapa demikian? Karena dari lahir, saya sudah memiliki orang tua dengan agama yang sama dengan saya, kemudian saya dimasukkan ke SD islam yang notabene banyak memberikan pengetahuan tentang islam. Dulu, saya banyak hafal hukum-hukum islam, tafsir Al-qur’an dan bahkan lancar berbahasa arab. Tapi, itu semua saya lakukan hanya sebatas, karena saya wajib mengetahuinya bila saya ingin lulus dari SD. Kedua orang tua saya tidak pernah mengecap pendidikan agama secara formal sebelumnya, sehingga, walaupun mereka berdua orang tua yang baik dan hebat, namun nuansa islam tidak begitu terasa dalam keluarga kami. Kedua orang tua saya lebih mengondisikan rumah sebagai wadah untuk mendidik anak untuk cerdas secara akademis dan emosional. Tapi tidak secara agama. Tentu saja orang tua saya tidak salah, karena sampai sejauh ini, anak-anaknya semua berprestasi dan mandiri. Walaupun pada akhirnya, saya harus mengulang beberapa pelajaran SD demi mengembalikan pengetahuan agama saya.

Dan kalau saya tidak belajar disini, saya tidak akan tahu, bahwa umat islam dipandang sebagai orang yang bodoh. Karena adanya hukum poligami, tidak bolehnya laki-laki dan perempuan bersentuhan (jabat tangan dan sebagainya) dan bahwa perempuan itu wajib menutup aurat. Awalnya saya heran luar biasa, mengapa mereka tidak secara simpel mau menerima, bahwa dalam kehidupan beragama, setiap umat pasti memiliki aturan-aturan dan batasan-batasan tertentu yang wajib diikuti. Seperti misalnya (karena disini tidak boleh menyinggung soal SARA, saya berusaha untuk tidak menyebut suatu agama tertentu, kecuali agama saya) ada suatu agama yang tidak membolehkan umatnya memakan hewan berkaki empat, atau ada juga agama yang hanya membolehkan umatnya memakan sayur-sayuran, dan sebagainya. Saya berpikiran, mengapa mereka tidak bisa menerima bahwa kami umat muslim, ya seperti ini. Terikat dengan hukum-hukum yang kami patuhi, sebagai bentuk cinta kami kepada Tuhan dan agama kami.

Ternyata cara berpikir saya yang keliru. Sebagian besar orang disini tidak tahu, karena memang tidak tahu dan tidak mencari tahu. Memang penduduk lokal disini sangat tertib, rapi, disiplin, dan berdedikasi tinggi. Mereka sangat toleran satu sama lain. Mereka adalah manusia-manusia yang bekerja keras dan sangat tinggi komitmennya atas suatu keputusan. Dan mungkin, disitulah masalahnya. Karena selama ini mereka berpikiran bahwa apa yang sudah mereka capai adalah cerminan dari kerja keras mereka selama ini, maka mereka menganggap, manusia yang membuat semua ini ada. Itu membuat mereka, secara sederhana tidak percaya adanya Tuhan (bukan atheis). Jadi, saya tidak bisa menyalahkan apabila mereka (dan mungkin penduduk dari negara yang serupa) tidak mempercayai adanya Tuhan, dan tidak mengerti, mengapa kita sebagai umat beragama harus tunduk pada aturan-aturan yang membuat kita seolah-olah bodoh, diperlakukan tidak adil, menolak kenikmatan dunia dan sebagainya.

Jadi, beberapa waktu lalu, saya bertemu seorang supir taksi yang sangat ramah dan bisa bicara bahasa inggris dengan sangat lancar. Dia banyak bercanda dan mengobrol dengan saya, dan salah satu yang disinggung adalah masalah poligami. Berikut dialog kami:

Supir taksi: “Aku dengar para lelaki dalam agama kalian bisa memiliki 4 orang istri dalam waktu yang bersamaan, apa benar?”

Saya : “Iya, benar”

Supir Taksi : “Wah, kasihan sekali kalian para wanita! Dan enak sekali para lelaki disana! Kalo bisa punya 4 istri, aku juga mau tinggal di negara kalian!”

Saya : “Masa enak? Punya satu istri lho susah, susah buat dibikin bahagia, dan yang pasti mengeluarkan biaya yang nggak sedikit buat menghidupi!” (kami sama-sama tertawa)

Supir Taksi : “Benar!!! Saya punya satu istri, dan susah sekali dibahagiakan! Jadi, apakah pemerintah negaramu membolehkan hukum ini? Memiliki lebih dari satu istri?”

Saya : “Boleh kok! Asal bukan pegawai negeri aja!”

Supir Taksi : “Dan pernikahannya sah? Maksudku, kalo disini, kamu bisa punya istri lagi, tapi nggak sah, semacam simpanan, begitu!”

Saya: (tertawa lagi) “Sah, jadi sebenarnya hukumnya itu, asal kamu dapat ijin dari istri pertama, maka pernikahanmu sah secara agama dan secara hukum!”

Supir Taksi : “Kalo istri pertama nggak setuju?”

Saya: “Ya nggak sah dong! Gimana sih? (tertawa) tapi jangan salah, banyak juga di negara saya yang menikah secara sembunyi-sembunyi karena istri pertama nggak setuju, disana kami juga menyebutnya simpanan!” (kami tertawa lagi)

Supir Taksi: “Oh, benar juga ya! Kami para lelaki selalu punya cara untuk mendapatkan apa yang kami mau! Lalu, maaf bila pertanyaanku kurang sopan, apakah kamu mengijinkan bila suatu ketika suamimu minta menikah lagi?”

Saya: (dengan suara keras) “TENTU SAJA!! Tidak..” (terdengar supir taksi ini shock, tapi kemudian tertawa mendengar kata terakhir saya)

Supir Taksi: ”Oh, kau mengagetkanku! Aku pikir kamu benar-benar mau begitu saja tanpa penjelasan apa-apa!” (kami tertawa cukup lama)

Saya: ”Pada dasarnya, sebagai manusia, baik laki-laki ataupun perempuan, kalo udah menikah pasti nggak mau diduakan kan? Ya sama, saya juga gitu, dan di agama saya sudah ditegaskan, lebih baik menikah dengan satu wanita saja, bila takut nggak bisa berlaku adil! Agama saya itu menyediakan pilihan, bukan sebuah batasan yang mengungkung. Kita sama-sama tahu, hidup itu nggak pasti. Misalnya nih ya, saya sudah menikah, kemudian kami nggak bisa punya anak karena suatu penyakit yang diderita, dari pada mengangkat anak, kan lebih baik kalo suami saya punya istri lagi yang bisa melahirkan keturunan buat dia secara sehat dan sah. Atau suatu ketika, saya lumpuh, sakit dan tidak bisa melayani atau merawat suami, sedangkan kamu tahu sendiri, bagaimana laki-laki dewasa kalo hidup sendirian. Daripada jajan diluar, kan lebih enak dia punya istri lagi. Begitu!”

Supir Taksi: ”Tapi kan kalo punya istri lagi, pasti akan ada masalah baru dalam rumah tangga! Bisa jadi si istri baru jahat sama kamu! Atau kamu disakiti! Atau kamu coba dibunuh biar dia jadi satu-satunya istri, kalo seperti itu gimana?”

Saya: ”Kamu keracunan serial drama sepertinya! (tertawa lagi) orang hidup pasti punya masalah lah, kalo kita selalu mengkhawatirkan yang belum pasti, hidup kita pasti susah to?! Ngapain?! Makanya di agama kami disebutkan, kalo misalkan nggak bisa berlaku adil, ya jangan nikah lagi, kita nggak tahu manusia itu bagaimana. Dulunya bisa aja baik tapi setelah itu jadi jahat. Ato sebaliknya. Jadi, disini, suami harus benar-benar bertanggung jawab kalo emang mau nikah lagi. Gak cuman nyenengin istri kedua, tapi istri pertama juga. Makanya, di agama kami dibilang, kalo si istri pertama ini bersabar ketika dimadu, maka dijamin masuk surga! Tapi, kalo saya sudah bersabar tapi istri kedua ini nyebelin ya dilawan dong! Masak diam aja!” (kami tertawa lagi)

Supir Taksi: ”Selama ini saya pikir, bisa seenaknya aja nikah lagi, ternyata aturannya ribet juga ya?!”

Saya: ”Nggak ribet, aturan ya ada tinggal diikuti, yang ribet manusianya, yang bikin saya kesal itu, para laki-laki suka mencari celah demi menikah lagi. Demi menghalalkan nafsu sesaatnya aja! Padahal menikah nggak Cuma kayak gitu!”

Supir Taksi: ”Ohh..oke..jadi, kamu sudah menikah?”

Saya: ”Belum..”

Supir Taksi: ”Sudah punya pacar kalo gitu?”

Saya: ”Nggak juga, kenapa?”

Supir Taksi: ”Wah, padahal saya mau nanya, tipe cowok seperti apa pasanganmu!”

Saya: ”Wahaha..sayang sekali saya nggak bisa jawab kalo yang itu, yah, asalkan jangan seperti kamu aja!”

Supir Taksi: ”Lho?? Kenapa?? Kan saya ganteng...”

Dan percakapan kami kembali pada membahas hal-hal tidak penting dan sekedar bercanda saja. Sampai tiba di tempat tujuan.

Jadi, disini, saya tidak menyalahkan apabila kaum non-muslim atau non-agama memandang sinis pada kehidupan agama kita. Yah, bagaimana lagi, mereka memang tidak tahu. Tapi bukan berarti kita harus balas sinis kepada mereka kan?! Rasulullah selalu berdakwah dengan penuh kasih sayang. Ada baiknya kita tiru teladannya yang demikian. Menjaga hubungan baik dengan kaum non-muslim juga merupakan bentuk dakwah. Apalagi kalau kita bisa meladeni pertanyaan mereka dengan sabar dan dengan jawaban yang baik. Saya tidak ingin menjadikan diri saya sendiri sebagai contoh, karena disana-sini saya tentu masih banyak kekurangan. Namun pendapat saya masih sama seperti pada artikel sebelumnya. Memahami dan mempelajari apa yang kita yakini sangat perlu, karena kita tidak hanya meyakini dengan akal tapi juga dengan hati. Akal membantu kita mempelajari, mengingat dan mengamalkan. Namun didalam hatilah sesungguhnya keyakinan itu mengendap. Sehingga bila kita tidak mempelajari dan mencari tahu, segala hal yang dapat membantu keyakinan itu mengendap, maka kita tidak akan bisa mengamalkannya secara baik, utuh dan sempurna.

Mudah-mudahan tulisan saya malam ini tidak terkesan menghakimi dan menyinggung perasaan siapapun. Saya hanya ingin membagi pengalaman saja, sehingga kita bisa sama-sama belajar atas kejadian tersebut.

Wallahu’alam bishowab.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline