Lihat ke Halaman Asli

Donal Eryxon

Mencoba menulis

Sebuah Cerita tentang Keyakinan, Bukan Cerita Keyakinan

Diperbarui: 18 November 2020   12:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar - https://www.huffingtonpost.com/

Namaku Ikson, salah satu mahasiswa di Universitas di kota ini, semester akhir dan sedang mengerjakan skripsi. hidupku datar-datar saja, tidak se-ekstrim yang kuharapkan. Namun teman-teman berkata lain tentang aku, pandangan mereka sinis melihat aku yang sedikit berbeda, karena aku tidak percaya Tuhan, Tidak percaya pada yang namanya Maha tinggi, Maha adil, Maha pemurah, dan semua serba Maha yang mereka rasa harganya leih mahal dibanding yang lainnya.

Aku yakin dengan pilihanku, aku percaya dengan yang dikatakan Nietsche sang filsuf yang Atheist dengan kata-katanya yang lantang "Tuhan sudah mati! Tuhan adalah candu manusia.." aku percaya itu, karena jika kita tidak bisa melakukan sesuatu, kita berhenti berusaha dan hanya berharap dengan mukjizat dan doa kepada sosok yang namanya Tuhan, akhirnya lahirlah para pengemis di simpang lampu merah...

Kalian masih mau argumenku lagi kan? Nah, jika Tuhan memang baik? Knapa dia ciptakan Surga-neraka? memangnya Tuhan itu sosok yang kesepian ya? Mungkin karena tidak ada lagi yang mau dikerjakan, dia ciptakan manusia supaya hariharinya tidak jenuh? Ia toh? 

Lalu, Kalo Tuhan memang menciptakan takdir, buat apa dia ngasi cobaan dan ngasi petuah dogmatis "tidak ada cobaan yang tidak bisa kamu lalui.."? tapi ujung-ujungnya ada banyak orang bunuh diri?dan menurutku Agama yang secara harafiahnya bererti "tidak kacau"sudah mencapai titik state failure, dimana berbanding terbalik tujuan dengan kenyataan bahwa kehidupan manusia sekarang sangat kacau, Dan jika aku diberi plihan oleh Einstein, "everything is a miracle or nothing is a miracle.." aku pasti sudah memilih yang kedua.

Tapi aku tetap menghargai mereka yang beragama..aku toleran pada mereka yang mau sholat, mereka yang berdoa saat teduh, dan mereka yang betul-betul ibadah, dalam otakku juga masih ada yang namanya harmonisasi, tidak semua orang harus seperti aku dan aku tidak mesti seperti mereka..

Seperti itulah aku, walaupun aku aneh dimata mereka, aku juga masih punya teman, Maria Olin dan Bara Omar, Olin adalah Mahasiswi cantik, dan jenius di jurusan ini, wanita yang tidak pernah melepaskan rantai salib yang bertuliskan Kolose 3:2 dan buku renungan alkitab di dalam tasnya. 

Sedangkan Bara, anak ketuunan syeh yang atanya adalah keturunan nabi Muhammad memang tak sejenius Olin, tapi dia dikenal bijak dan santun, baju koko sudah menjadi ciri khas fashion nya aku sering mendengar ayat QS. Al-Qomar : 54-55 yang intinya harus bertaqwa kepada Tuhan yang maha esa.

Dalam jurusan yang sama, kami selalu sekelompok bersama dalam mengerjakan tugas, bukan berarti kami bertiga mengacuhkan yang lain, namun sepertinya kami bertiga memang sudah sangat klop, sudah sangat melengkapi, tidak ada pertikaian yang berarti bagi kami, seperti pertentangan "Tuhan siapa yang asli?, apakah Tuhan memang ada atau tidak?", itu hanya menjadi adu mulut bagi orang-orang yang masih beranjak pubertas bagi kami.

Tidak ada masalah bagi persahabatan kami saat itu, Namun di awal semester lima ini aku melihat perubahan bagi kedua sosok yang mengagumkan itu, Olin sering kulihat berpipi merah saat kami bertiga berkumpul membahas suatu tugas, dan bara sering terlihat gagap saat berbicara. Aku bingung, apalagi akhir-akhir ini, intenensitas pertemuan kami mulai berkurang, aku jadi lebih sering sendirian.

Walaupun demikian aku tidak lama mencari jawaban keanehan itu, dengan naluri sahabat yang sangat peka akhirnya aku mengetahui ternyata Olin dan Bara sudah saling menaruh hati, kudapati mereka berdua duduk berdampingan di taman sebelah kampus, sekali lagi kutegaskan kalau insting persahabatanku sangat peka, aku bisa membedakan situasi mereka saat itu adalah romansa kasmaran, bukan roman persaudaraan.

Hari berikutnya aku langsung mengintrogasi mereka berdua, ternyata insting alamiku benar, mereka benar sudah resmi berpacaran, namun mereka berdua menyembunyikannya, takut menjadi bahan pembicaraan orang luar. Sebagai sahabat, aku tidak mau mereka salah memilih keputusan, demi kebaikan mereka berdua aku memutusakan kepada mereka agar menjalani hubungan mereka secara serius selama sisa perkuliahan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline