JERIT TANGIS HONORER
Oleh: Lucy Yolanda, S.Pd.
Mengingat pentingnya pendidikan sebagai fondasi kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia maka peran guru sangatlah penting. Hak, kewajiban, dan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 1---5. Adapun pengertian guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didiknya, baik di lembaga formal maupun informal (Djamarah, 2000). Sedangkan istilah guru honorer adalah guru yang diangkat secara resmi oleh pemerintah untuk mangatasi kekurangan guru (Mulyasa, 2006).
Guru honorer adalah satu-satunya istilah yang ada di Indonesia. Karena di negara lain, istilah guru hanyalah satu dan negara-negara maju berani mengapresiasi para guru dengan gaji di atas rata-rata karena paham di tangan gurulah masa depan negara digantungkan. Mengutip pernyataan kaisar Jepang saat negaranya luluh lantak akibat perang dunia, yang pertama kali beliau tanyakan bukan berapa emas yang tersisa ataupun berapa harta yang masih tersisa, namun yang beliau tanyakan pertama kali adalah BERAPA GURU YANG MASIH TERSISA.
Untuk saya sendiri, mengajar merupakan panggilan hati yang tak terelakkan, karena dilatarbelakangi oleh kecintaan terhadap ilmu, sehingga memacu diri ini untuk mengajarkan kembali kepada peserta didik. Terdapat suatu kenikmatan dan keberkahan tersendiri dalam menjalankan profesi ini. Cukup unik memang, meskipun di tengah paradigma umum yang sering memandang sebelah mata pada profesi kami sebagai guru honorer/guru donorer (Sama seperti donor, istilah guru honorer serupa dengan kata donorer. Yaitu kerelaan memberikan sebagian dari apa yang dimiliki tanpa pamrih apapun). Bukan saja masalah materi, HAM (Hak Azasi Manusia) juga sangat kami perhatikan. Peran kami pun terkadang harus merangkap menjadi kawan dan sahabat bagi para peserta didik. Karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sekitar. Itulah yang membuat kami bertahan.
Ya! Alasan kemanusiaan. Mungkin perasaan saya mewakili semua honorer di Indonesia. Namun, kerelaan ini kadang tergoyahkan oleh opini-opini di masyarakat karena kami bukan PNS (Pegawai Negeri Sipil) padahal beban kerja kami sama, terkadang lebih ekstra dari beban kerja mereka. Ketimpangan dalam hal materi pun menjadi kendala utama, segala kebutuhan bahkan untuk sekadar bensin dan bedak saja upah kami sangatlah tidak sepadan dengan kondisi realitas di zaman ini, apalagi di tengah lonjakan harga-harga kebutuhan bahan pokok, belum lagi susu formula untuk anak-anak kandung kami. Upah kami tentu sangatlah jauh berkali lipat dari UMR (Upah Minimal Regional). Terkadang kami harus menunggu dua atau tiga bulan terlebih dahulu, baru kami bisa membeli hanya sekadar kebutuhan pokok. Apalagi untuk bebutuhan media ajar di zaman digital.
Terkadang beberapa teman seperjuangan kami harus melepaskan tugas mulia ini karena tidak sebanding dengan yang didapat. Namun beberapa dari kami masih bertahan demi satu tujuan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan negeri kami tercinta, walaupun di antara kami ada yang telah berusia lanjut dan mengabdi sudah puluhan tahun sehingga mengoperasikan gawai dan laptop saja kebingungan. Tapi itu semua kami jalani mengikuti era digitalisasi dan tuntutan zaman yang senantiasa dinamis. Agar para peserta didik kami tetap setia dan tak jemu bersekolah mengukir prestasi gemilang. Begitu banyak tantangan kehidupan yang harus kami jalani, namun karena kecintaan kami kepada negeri tetap terpatri dan mewujudkan cita-cita luhur berkontribusi untuk negri tercinta dengan harapan surga menanti.
Saya pun sangat bersyukur dengan profesi ini yang membantu menemukan keikhlasan sejati dan memacu diri untuk terus belajar. Sebagaimana sabda-Nya, "Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju Surga". (HR. Muslim, No.2699). Dan kutipan dari Alquran, Maka, sebaik-baik kalian adalah yang bermanfaat bagi sesama. Ayat-ayat tersebut laksana oase untuk mengubah LELAH kami menjadi LILLAH. Semoga menjadi amal jariyah yang tak kan putus sampai akhir kehidupan kami nanti. Dan anak didik kami menjadi tunas-tunas bangsa yang sukses, maju berkarakter.
Menyoal UU No.5 Tahun 2014 mengenai pengadaan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) menjadi ASN. Adalah revolusi dari Bapak Menteri Kemdikbudristek Nadiem Anwar Makarim bagi kami yang termarginalkan. Keputusan tersebut membuat kami bisa sedikit bernapas lega. Kami sangat menyambut bahagia walaupun masih banyak yang harus dievaluasi karena program tersebut baru berjalan sekitar tiga tahun terakhir. Kami pun sangat berterima kasih ternyata banyak berbagai forum/lembaga yang mendukung memperjuangkan nasib kami para guru honorer, salah satunya PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) dan Forum Lolos Passing Grade Indonesia. Serta banyak lagi lembaga yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Itu menandakan ternyata kami tidak sendiri. Semoga segera akan kita sonsong masa depan gemilang demi mewujudkan Indonesia merdeka dan sejahtera.
Menutup tulisan ini, izinkan saya menggoreskan ungkapan hati untuk para peserta didik tercinta, penyemangat kami.
MENYULAM ASA