Harmonisasi peraturan yang dimaksud disini adalah proses penyelarasan atau sinkronisasi rancangan suatu peraturan terhadap peraturan-peraturan (lainnya) yang ada, sehingga terbentuk satu kesatuan utuh dalam kerangka sistem hukum nasional (tidak tumpang tindih, menyelisihi peraturan lainnya yang sejenis atau di atasnya, dan lainnya, termasuk ketidakharmonisan dalam peraturan itu sendiri).
Sehingga dapat dikatakan harmonisasi peraturan ini merupakan satu upaya mewujudkan kepastian hukum dan meningkatkan keyakinan/kepercayaan terhadap penerapan peraturan itu sendiri, khususnya ketika terjadi kasus-kasus hukum pidana/perdata sebagai akibat penerapan peraturan-peraturan tersebut.
Berikut ini adalah satu contoh identifikasi harmonisasi peraturan khususnya yang berkaitan dengan istilah PPK.
A. Ada dua istilah PPK dalam peraturan perundangan yang berlaku saat ini, dimana keduanya sama populer dan pentingnya dalam lingkup penerapannya masing-masing. Pertama adalah istilah PPK dalam artinya sebagai "Pejabat Pembuat Komitmen", digunakan dalam lingkup kegiatan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (PBJ). Kedua adalah istilah PPK dalam pengertiannya sebagai "Pejabat Pembina Kepegawaian", digunakan dalam lingkup pengelolaan/manajemen SDM (kepegawaian). Penggunaan kedua istilah (sebutan) yang sama tersebut memunculkan kerancuan.
Berikut ini adalah peraturan perundangan yang mengatur PPK dalam pengertiannya sebagai "Pejabat Pembina Kepegawaian":
1. UU No. 4 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara;
2. PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil;
3. PP No. 17 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.
B. Definisi dan tugas/kewenangan PPK dalam hal pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (diatur dalam Peraturan LKPP) dan dalam hal Pelaksanaan APBN (diatur juga dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Keuangan).
Perhatikan (data historis) peraturan yang mengatur PPK dalam pengertiannya sebagai "Pejabat Pembuat Komitmen" di bagian bawah tulisan ini, dapat dianalisis:
1. Mulai waktu acuan pelaksanaan Perpres PBJ tahun 2010 (Perpres No. 54 Tahun 2010) sampai tahun 2018 (Perpres No. 4 Tahun 2015, sebelum berlakunya Perpres No. 16 Tahun 2018), PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) didefinisikan sebagai "pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa". Definisi tsb tidak sinkron dengan definisi PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) dalam PP/PMK, yaitu: "pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA
untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapatmengakibatkan pengeluaran atas beban APBN". Barulah kemudian tahun 2018, pada Perpres No. 16 Tahun 2018 definisi PPK sudah sama (sinkron) antara definisi pada Perpres PBJ dengan PP/PMK. Dapat dikatakan sudah terlihat adanya upaya proses harmonisasi antar peraturan disini walaupun sebatas pada pendefinisian PPK. Tentu ada sebab/pemicunya kenapa redefinisi PPK baru dilakukan tahun 2018 (yg pastinya info tsb tercatat sbg bagian dari proses harmonisasi).
2. Harmonisasi belum menyentuh dalam satu peraturan yang sama. Sebagai contoh, dalam PMK disebutkan PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA
untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapatmengakibatkan pengeluaran atas beban APBN. Pada kenyataannya, keputusan/tindakan PPK yang disebutkan di peraturan itu masih harus melalui PPSPM (Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar) yang melaksanakan kewenangan KPA dalam hal pengujian tagihan (dari PPK) dan memerintahkan pembayaran atas beban anggaran negara, sebelum akhirnya diajukan oleh PPSPM ke Bendahara Umum Negara (BUN, KPKN) yang kemudian mencairkan dana pembayaran pekerjaan. Dimana scr struktural umumnya PPSPM berpangkat/jabatan lebih tinggi dari PPK. Sangat terlihat disini adanya kejanggalan dari proses Harmonisasi tanggung jawab PPK.
=====
DATA HISTORIS PERATURAN YANG MENGATUR PPK SEBAGAI "PEJABAT PEMBUAT KOMITMEN":