Maraknya berita penangkapan komika Coki Pardede lantaran kedapatan menggunakan narkoba jenis sabu, membuat saya merasa turut prihatin. Bagaimanapun, saya merupakan salah satu umat lucu penikmat karya-karya duet maut Coki Muslim.
Di tulisan ini, saya tidak akan men-zoom-in persoalan narkoba dan peristiwa penangkapan Coki. Ada hal lain yang lebih menarik untuk dibahas dari sekadar mengulang pemberitaan yang sudah tersebar di berbagai media.
Bagi sebagian orang yang mengikuti konten-konten Majelis Lucu Indonesia, tentu sudah tidak asing lagi dengan jokes ala Coki yang dikenal dark dan ofensif. Apalagi belakangan ini, Ia cukup berani untuk menyatakan ke publik kalau dirinya adalah seorang agnostik.
Beragam komentar bermunculan pasca Coki dengan lugas menyatakan hal tersebut di media. Pro dan kontra tentu menjadi sesuatu yang sah ketika hal tersebut sudah masuk ke ranah publik.
Alih-alih memperdebatkan, saya ingin mencoba mengajak pembaca menyamakan persepsi dahulu tentang apa itu agnostik. R. S. Sharma dalam Encyclopedia International mengungkapkan pendapatnya tentang agnostisisme.
Menurutnya, agnostisisme merupakan pandangan skeptis terhadap agama yang merujuk pada sikap dan ajaran bahwa keberadaan Tuhan tidak bisa diketahui atau dibuktikan.
Lebih lanjut, dikutip dari jurnal yang berjudul Atheis dan Agnostik dalam Perspektif Agama Islam, Ashriyah, Saadatul (2019), seseorang yang agnostik tidak menyangkal keberadaan Tuhan secara mutlak. Ia menganggap keberadaan Tuhan adalah sesuatu yang tidak mungkin dapat dinalar oleh akal manusia.
Kedua definisi tersebut senada dengan pernyataan Coki dalam berbagai kesempatan. Ia dengan jelas menyampaikan kalau dirinya tidaklah menyangkal keberadaan Tuhan, melainkan sebatas mempertanyakan dan meminta pembuktian.
Menurutnya, Jikapun Tuhan itu ada, Ia bersifat universal dengan tidak mengkotak-kotakkan pemeluknya melalui identitas yang bernama agama.
Setelah mengamati dengan seksama mengenai bagaimana seorang agnostik hadir dengan konsep ketuhanan yang cukup unik dan berbeda dari kebanyakan orang.
Ini tentu menjadi semacam shock therapy bagi kita semua sebagai pemeluk agama untuk kembali memeriksa atau paling tidak bertanya pada diri masing-masing, "Mengapa saya beragama?".