Lihat ke Halaman Asli

Lucky Azhari

Jurnalis

Lunturnya Sila Kelima Imbas Kecurangan PPDB Zonasi

Diperbarui: 17 Juli 2023   23:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendemo membentangkan spanduk dan poster saat berunjuk rasa di Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat tahun lalu - dok. Antara Foto

Kekecewaan agaknya selalu membuntuti sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Tak terkecuali pada PPDB tahun ini. Tidak sedikit masyarakat yang mengeluhkan susahnya mendaftarkan putra-putrinya ke sekolah tujuan. Maklum saja, orang tua banyak yang gagap teknologi (gaptek) karena sistem PPDB kini online.

Selain itu, pendaftaran ke sekolah terkadang diwarnai dengan kecurangan. Teranyar, jalur zonasi disinyalir kerap diakali oleh peserta didik baru. Sederhananya, mereka ingin bersekolah di sekolah yang dianggap favorit. Lantaran terbentur zonasi, sejumlah cara "gaib" pun dihalalkan agar bisa diterima di sekolah impian.

Ya, beberapa waktu lalu saya sempat membaca sebuah artikel di media online ternama di Indonesia. Demi bisa bersekolah di sekolah dambaan, siswa diduga nekat pindah domisili alias mutasi hingga pindah kartu keluarga (KK). Cara itu memang sangat tidak lumrah, dan terkesan memaksakan.

Untuk diketahui, zonasi merupakan salah satu kebijakan yang dibuat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Itu, untuk menghadirkan pemerataan akses pada layanan pendidikan, serta pemerataan kualitas pendidikan nasional. Sistem ini diharapkan juga bisa menghapus labelisasi masyarakat terhadap sekolah yang dianggap favorit.

Menilik laman resmi Kemdikbud.go.id, zonasi didefinisikan sebagai bentuk penyesuaian kebijakan dari sistem rayonisasi. Rayonisasi lebih memperhatikan pada capaian siswa di bidang akademik. Sementara sistem zonasi lebih menekankan pada jarak/radius antara rumah siswa dengan sekolah. Artinya, hanya siswa dengan jarak rumah terdekat lah yang akan diterima di sekolah tersebut.

Dalam hal ini, tetap saja ada pihak tak bertanggung jawab yang bertingkah. Misalnya, di Kota Blitar, Jawa Timur. Dinas kependudukan dan pencatatan sipil (dispendukcapil) mengakui bahwa angka penduduk datang cukup banyak, bahkan mencapai ribuan jiwa. Mereka berasal dari sejumlah kota/kabupaten sekitar Kota Blitar.

Masyarakat mengakses layanan administrasi kependudukan - dok. Antara Foto/Nova Wahyudi

Dasar permohonan untuk pindah domisili ke Kota Blitar tak lain karena faktor pendidikan. Hal itu diakui secara terang-terangan kepada pegawai dispendukcapil. Karena memang mereka yang mengakses layanan dukcapil harus mencantumkan alasan yang jelas dan sebenar-benarnya.

Upaya yang dilakukan pemohon jelas tak bisa dibendung oleh dispendukcapil. Sebab, mereka berpedoman teguh pada Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Isinya, setiap penduduk wajib melaporkan peristiwa kependudukan serta peristiwa penting yang dialaminya kepada instansi pelaksana, dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. Dalam konteks itu, senyampang warga mengurus administrasi kependudukan dengan jelas dan seusai alur, maka tetap dilayani. 

Indikasi Lunturnya Penerapan Sila Kelima?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline