Kompasiana - Lelah. Itulah kata yang mungkin tersirat jelas di benak para fans bulutangkis Indonesia, menanti datangnya secercah prestasi sektor tunggal putri.
Bisa dibilang, Indonesia nyatanya masih gagal total dalam menangani regenerasi bulutangkis tunggal putri untuk paling tidak, menyamai prestasi mantan atlet putri, Susi Susanti.
Jika sedikit kembali di tunggal putri era tahun 1990-an, Indonesia rasanya tak kebingungan untuk menjadi yang terbaik di berbagai ajang bulutangkis bergengsi.
Mulai dari ajang individual terbuka (Indonesia Open, Malaysia Open, dll), Kejuaraan Dunia, Piala Dunia, hingga Olimpiade, semua dibabat habis oleh Susi Susanti.
Tak dipungkiri. Kejayaan seorang Susi Susanti itu begitu nyata saat ia sukses meraih Medali Emas Olimpiade Barcelona 1992 silam. Di final, Susi Susanti menunjukkan kelasnya dengan menghajar wakil Korea Selatan, Bang So Hyun.
Di tahun itu, Susi sukses mengawinkan gelar tunggal putri, saat Alan Budikusuma juga berhasil meraih Medali Emas Olimpiade Barcelona 1992 dari nomor tunggal putra.
Pada gelaran Olimpiade 1996, Indonesia kembali meraih medali dati tunggal putri. Dua wakilnya yakni Mia Audina meraih perak, sementara Susi Susanti berkalungkan medali perunggu.
Beberapa tahun setelahnya, Susi Susanti memutuskan untuk gantung raket dan membina rumah tangga dengan Alan Budikusuma. Sementara Mia Audina menyusul dengan menerima pinangan seorang pria berkebangsaan Belanda.
Hal itu kemudian membuat Mia Audina mau tidak mau ikut terbang ke Negeri Kincir Angin itu. Mengubah kewarganegaraannya, Mia Audina masih bermain hingga Olimpiade Athena 2004 untuk Belanda.
Setelah kehilangan dua tunggal putri legendaris itu, Indonesia masih harus menunggu beberapa tahun hingga menemukan sosok Maria Kristin Yulianti, Adriyanti Firdasari, dan Lindaweni Fanetri.